![]() |
Nama Abdul Muthalib Sangadji dipilih sebagai penghormatan terhadap tokoh pendidikan dan pergerakan asal Maluku yang gigih memperjuangkan nilai-nilai Islam dan kebangsaan di era kolonial. |
UJARAN.CO.ID, Ambon — Per tanggal 24 Mei 2025, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambonresmi beralih status menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Abdul Muthalib Sangadji (UIN AMSA). Perubahan ini merupakan bagian dari program transformasi nasional terhadap 11 Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN) di bawah naungan Kementerian Agama Republik Indonesia.
Nama Abdul Muthalib Sangadji dipilih sebagai penghormatan terhadap tokoh pendidikan dan pergerakan asal Maluku yang gigih memperjuangkan nilai-nilai Islam dan kebangsaan di era kolonial. Penyerahan Peraturan Presiden (Perpres) sebagai dasar hukum perubahan status UIN AMSA dijadwalkan dilakukan pada 26 Mei 2025 di Jakarta.
Namun, di tengah euforia transformasi kelembagaan ini, muncul sengketa serius terkait lahan pembangunan kampus cabang IAIN Ambon di Dusun Lengkong, Negeri Liang, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah.
⸻
Sengketa Lahan 62 Hektare dan Tuduhan Mafia Tanah
Sengketa mencakup lahan seluas 62 hektare yang sejak 2017 direncanakan untuk pembangunan kampus cabang. Berdasarkan kesepakatan dengan 41 warga yang mengklaim sebagai pemilik sah, harga lahan ditetapkan sebesar Rp55.000 per meter persegi, dengan nilai total mencapai Rp33 miliar.
Namun hingga Oktober 2024, warga menyatakan belum menerima pembayaran ganti rugi sesuai perjanjian. Mereka mengklaim bahwa sekitar Rp27 miliar dari anggaran tersebut telah dicairkan, namun tidak sampai ke tangan pemilik lahan yang sah. Dana tersebut diduga dialihkan oleh pihak-pihak tertentu yang terlibat dalam praktik mafia tanah.
Sebagai bentuk protes adat, warga telah memasang ‘sasi’ di lokasi tersebut, yang secara kultural berarti pelarangan aktivitas apa pun di atas tanah yang disengketakan. Warga juga menolak rencana Badan Pertanahan Nasional (BPN) Maluku untuk menerbitkan sertifikat hak pakai atas nama IAIN Ambon, dengan alasan bahwa status hukum tanah tersebut belum diselesaikan secara sah.
⸻
Pertanyaan Serius soal Anggaran Negara
Kasus ini memunculkan pertanyaan besar mengenai transparansi dan akuntabilitas penggunaan anggaran negara. Pemerintah pusat melalui Kementerian Agama telah mengalokasikan Rp33 miliaruntuk pembebasan lahan tersebut. Namun, warga mempertanyakan kemana dana negara itu mengalir, dan mengapa hingga kini mereka belum menerima hak mereka.
Tokoh masyarakat Negeri Liang, dalam pernyataannya, mendesak penegak hukum, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengusut dugaan korupsi dan praktik mafia tanah yang diduga melibatkan pejabat lokal, calo, maupun oknum institusi.
“Kami mendukung penuh perubahan status IAIN Ambon menjadi UIN AMSA. Tapi jangan sampai transformasi itu mencederai keadilan masyarakat adat dan mengabaikan hak-hak kami sebagai pemilik sah tanah,” ujar Rummi, salah satu juru bicara warga.
⸻
Tuntutan Masyarakat dan Harapan Penyelesaian
Warga Negeri Liang menyatakan tidak menolak pembangunan UIN AMSA, namun menegaskan bahwa prosesnya harus menghormati hak hukum dan adat yang berlaku, serta menjamin keadilan bagi pemilik lahan.
Mereka menuntut:
• Transparansi penggunaan dana Rp33 miliar
• Penghentian sementara proses sertifikasi lahan
• Penyelidikan independen terhadap dugaan mafia tanah
• Keterlibatan lembaga adat dalam mediasi penyelesaian
⸻
Transformasi kelembagaan pendidikan tinggi berbasis keislaman seyogianya berjalan seiring dengan keadilan sosial dan transparansi publik. Kasus di Negeri Liang menjadi ujian moral dan hukum bagi pemerintah pusat, daerah, serta semua pemangku kepentingan.
0 Comments