OPINI: Cinta Dalam Sepotong Coklat

UJARAN.SINJAI – Perempuan-perempuan bergembira dimalam penuh tawa, meninggalkan kesedihan-kesedihan. Kerawanan dan ketakutan bersemayam, sedang laki-laki menenggelamkan separuh tubuhnya di atas bongkahan daging yang mendesah penuh syahwat, dan malaikat bergelantungan membaca puji-pujian dan rahmat. 14 februari adalah bulan penantian untuk mayoritas pasangan, seperti penantian kumbang terhadap kuntum kelopak bunga berseri yang hadir di awal penghujung musim. Bulan februari adalah bulan spesial untuk remaja dan pasangan kekasih sebagai hari penuh cinta dan pembuktian kasih sayang. Pasangan akan merayakan cintanya dengan jalan-jalan, makan, ciuman, hingga berhubungan badan.

Lalu, apakah cinta sesungguhnya dibuktikan dengan hubungan badan Ataukah diukur dengan melepas keperawanan?.

Hari valentine adalah hari bagi tiap pasangan memanen dan menua hasil persis seperti segerombolan kumbang yang hadir membuahi dan menghisap madu dikelopak bunga hingga akhirnya ditinggal layu, direnggut musim, dilindas waktu!. Valentine day merupakan salah satu penjajakan cinta berbalut maksiat, setiap tanggal 14 Februari pasangan selalu diarahkan merayakan hari kasih sayang yang sebenarnya hari kasih sayang yang berbalut kerawanan. Cinta seakan-akan setara dengan coklat, kata-kata manis, serta bunga malaikat yang membuat pasangan luluh hingga tenggelam pada kotoran yang nyenyak dan menjadikan tetesan mani menjijikkan.

Laki-laki dengan maskulinnya, menenggelamkan separuh tubuhnya diatas daging yang mendesah penuh hasrat. Sementara perempuan dengan kodratnya yang lemah akan pujian dan perhatian membuatnya meninggalkan kesedihan-kesedihan, kerawanan dan kekotoran yang bersemayam pada tubuh yang kotor hingga melepas keperawanan dan melahirkan cinta yang prematur. Perayaan valentine sering dianggap sebagai budaya nenek moyang indonesia yang memadu kasih sayang berbalut maksiat. hal itu merupakan cekokan yang sebenarnya dirawat oleh orang-orang Barat yang kini sudah menjamur dan mengakar di indonesia serta merupakan salah satu yang akan mematikan karakter.

Ketika paham sekuler telah mendarah daging di masyarakat dan terus mengekor kepada budaya barat serta menganggap peradaban yang maju dan modern harus diikuti maka sebuah malapetaka akan menimpa generasi. Dengan mentalitas yang selalu menurut dan ingin dijajah serta mengekor pada modernisme barat, seperti halnya perayaan hari valentine yang merupakan cekokan budaya barat merupakan kabut pekat yang mesti dilawan. “Modernitas harus diterima, tapi tidak dengan modernisme Barat” ungkapan Nur Kholis Madjid.

Perayaan valentine dengan hubungan badan dan melepas keperawanan diluar nikah adalah cinta yang prematur. Cinta yang prematur adalah cinta yang belum waktunya untuk turun dari langit, tapi karena nafsu yang merontak merenggut dan menyeret paksa sehingga ia turun tertatih. Dalam islam, kita mengenal dengan namanya pernikahan sebagai legalitas cinta. Jika mengaku mencintai tetapi tidak menikahi maka sama halnya dengan cinta yang menjelma dalam pandangan fatamorgana. Sebab hakikat pembuktian cinta adalah dengan menikah. Untuk menghindari budaya yang sifatnya liberal maka manusia (masyarakat indonesia) harus menyadari kedudukannya dimuka bumi sebagai mahkluk yang menjalankan amanah dari sang pencipta. Salah ungkapan pendeta gereja ortodoks yang berasal dari Jerman “Seks bebas yang dirayakan pada hari valentine disebabkan oleh kesepian jiwa dari Tuhan, karena membutuhkan sosok dan kehilangan dimensi spritual sehingga orientasi seks dijadikan ajang untuk melampiaskan kesendiriannya”.

Dengan asumsi bahwa manusia itu lemah sehingga membutuhkan sandaran. Selaras dengan ungkapan Nur Kholis Madjid “Nilai-nilai transenden mesti dan selalu dirawat dalam menghadapi tantangan zaman (modernisme Barat)”. Perayaan valentine dengan cara merelakan badan dan melepas keperawanan diluar nikah bukanlah budaya indonesia melainkan cekokan budaya barat yang telah menjamur dimasyarakat yang mesti dimatikan.

Masyarakat tentunya harus berkawan dan menerima modernis, tapi tidak dengan modernisme Barat. Jangan sampai perayaan di hari valentine adalah perayaan cinta yang prematur. Cinta yang belum takdir waktunya turun, tapi karena nafsu yang merontak merenggut dan menyeret paksa sehingga ia turun tertatih. Oleh sebab itu masyarakat ataupun peradaban mesti dipagari dengan nilai-nilai transenden. Kalau pepatah tua mengatakan mungkin ada rumah tanpa pagar tapi tidak akan pernah kita jumpai peradaban tanpa tempat peribadatan sebagai tempat mendekatkan diri kepada-NYA, sebab peradaban dan komunitas sosial lahir dari rahim agama “ungkapan Durkheim”.

Selamat Hari Valentine

Penulis: Muhardi, Kader HMI Komisariat Ushuluddin Filsafat dan Politik Cabang Gowa Raya.

0 Comments