![]() |
Oleh: M. Ishom el-Saha (Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin, Banten) |
UJARAN.CO.ID, Opini - Insiden panas antara pengacara HP dan RAN yang nyaris adu jotos di persidangan kembali mencoreng dunia hukum Indonesia. Kisruh antar-advokat yang berawal dari kasus pencemaran nama baik ini menunjukkan adanya pelanggaran kode etik advokat yang seharusnya dijunjung tinggi dalam profesi hukum.
Publik tentu menyayangkan tindakan tidak terpuji ini, terutama karena para advokat seharusnya menjadi contoh dalam menegakkan keadilan dan profesionalisme. Peristiwa ini semakin menegaskan pentingnya sanksi tegas bagi pengacara yang tidak mematuhi kode etik profesi, demi menjaga martabat hukum di Indonesia.
Lebih parah lagi, insiden tersebut menimbulkan polemik baru setelah pengacara FA mengaitkan kejadian ini dengan latar belakang pendidikan agama yang ditempuh oleh RAN. Dalam komentarnya yang viral, FA menyatakan bahwa perilaku negatif RAN dipengaruhi oleh statusnya sebagai sarjana agama.
Pernyataan ini jelas keliru dan perlu diluruskan. Sarjana Agama (S.Ag), terutama lulusan Fakultas Syariah, memiliki hak yang sah untuk menjadi advokat setelah menempuh Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) dan lulus ujian. Hal ini telah diatur dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Profesi Advokat.
Perjuangan para lulusan Fakultas Syariah agar diakui sebagai advokat bukanlah hal yang mudah. Sejak tahun 1996, mahasiswa Fakultas Syariah telah memperjuangkan hak mereka, yang akhirnya baru diakomodasi dalam regulasi profesi advokat tahun 2003.
Menggeneralisasi tindakan RAN dan asistennya sebagai cerminan dari sarjana agama adalah sebuah kekeliruan. Faktanya, mereka bukan lulusan Fakultas Syariah, sehingga tudingan bahwa "itulah kalau Sarjana Agama jadi pengacara" tidak memiliki dasar yang valid.
Seharusnya, yang menjadi sorotan adalah perilaku individu, bukan latar belakang pendidikannya. Banyak lulusan Fakultas Syariah yang terbukti berintegritas tinggi dalam dunia hukum, sama seperti advokat dari latar belakang pendidikan lainnya.
Oleh karena itu, polemik ini harus segera dihentikan, dan fokus utama seharusnya pada penerapan kode etik advokat agar kejadian serupa tidak terulang. Dunia hukum harus tetap dijaga martabatnya, bukan justru dirusak oleh ulah oknum yang tidak bertanggung jawab.
Profesi pengacara adalah pilar utama dalam sistem hukum. Jika advokat tidak bisa menjaga etikanya sendiri, bagaimana mungkin mereka bisa dipercaya untuk membela kepentingan hukum kliennya dengan baik?
0 Comments