Mesin Uang Palsu di UIN Alauddin: Rektor Bicara, Tanggung Jawab Siapa? Sebuah Opini Dari Alumni

Penulis Muh. Nur Ardiansyah (Alumni FDK UINAM)

UJARAN.CO.ID, Opini - Hamdan Juhannis, manusia biasa dan Rektor UIN Alauddin Makassar (UINAM), ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Di satu sisi, ia adalah seorang individu yang memiliki keterbatasan seperti manusia pada umumnya. Namun, di sisi lainnya, ia adalah seorang pemimpin institusi pendidikan dengan tanggung jawab besar, sesuai amanah yang diembannya.

Sebagai rektor, tanggung jawabnya diatur dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menegaskan bahwa rektor bertanggung jawab atas pengelolaan dan pengembangan institusi. Hal ini diperkuat oleh PP No. 47 Tahun 2017 tentang Pendidikan Tinggi, yang menyebutkan bahwa rektor bertanggung jawab atas kegiatan akademik dan non-akademik.

Dalam kasus "uang palsu" yang melibatkan institusi UINAM, tanggung jawab itu menjadi sorotan utama. Bukan tanggung jawab Hamdan Juhannis sebagai individu, tetapi sebagai pemimpin tertinggi kampus. Menurut Prof. Qasim Mathar, bentuk tanggung jawab ini tak cukup hanya dengan "mundur" dari jabatan rektor. Itu mungkin langkah kesatria, tetapi jauh dari solusi nyata untuk mengatasi persoalan mendasar.

Rektor sendiri sering menyerukan nilai-nilai luhur seperti "Taro Ada' Taro Gau" dalam pidatonya—mengajarkan untuk konsisten antara ucapan dan tindakan. Jika pidato itu mencerminkan dirinya, maka pengakuan atas kelalaian adalah tindakan yang selaras dengan prinsip tersebut. Jika tidak, ucapan itu hanya menjadi retorika kosong yang tak mampu membangun karakter baik.

Namun, kasus ini justru memunculkan pertanyaan besar: bagaimana mungkin mesin percetakan uang palsu sebesar itu masuk ke kampus tanpa sepengetahuan rektor? Aktivitas mahasiswa diatur begitu ketat—dari larangan aktivitas malam hingga penempatan zona khusus merokok. Bahkan mahasiswa yang menyampaikan aspirasi melalui aksi unjuk rasa menghadapi skorsing, intimidasi, dan represi.

Di mana posisi pengamanan kampus saat mesin besar itu dibawa masuk? Menurut Kapolres Gowa, mesin tersebut bahkan membutuhkan belasan orang untuk memindahkannya, sehingga mustahil tidak menarik perhatian. Apakah tidak ada laporan kepada rektor?

Kebijakan ketat terhadap mahasiswa ini menjadi ironi besar jika dibandingkan dengan longgarnya pengawasan terhadap aktivitas mencurigakan di lingkungan kampus. Rapat Pimpinan (Rapim) yang sering diadakan rektor seharusnya membahas masalah keamanan dengan lebih serius. Jika tidak, maka ini adalah bentuk kelalaian atas fungsi pengawasan dan tanggung jawabnya.

Desakan ini bukan untuk menghukum Hamdan Juhannis secara pribadi, apalagi untuk menjerumuskannya menjadi tersangka. Ini adalah tuntutan agar ia, sebagai rektor, bertanggung jawab penuh atas citra dan nama baik UIN Alauddin yang kini berada dalam sorotan negatif. Langkah ini penting untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap institusi yang seharusnya menjadi benteng peradaban dan ilmu pengetahuan.

Penulis

Muh. Nur Ardiansyah

(Alumni FDK UINAM)

0 Comments