Heboh! Menguak Hubungan Pencucian Uang dan Pemalsuan Uang Secara Mendalam

Pencucian uang adalah proses ilegal untuk menyamarkan asal-usul dana atau aset yang diperoleh melalui kejahatan agar tampak sah di mata hukum. Pemalsuan uang, meski terkait, tidak termasuk dalam pencucian uang tetapi lebih pada tindakan mencetak atau memproduksi mata uang palsu yang melanggar hukum.
UJARAN.CO.ID, Jakarta - Pencucian uang adalah proses ilegal untuk menyamarkan asal-usul dana atau aset yang diperoleh melalui kejahatan agar tampak sah di mata hukum. Pemalsuan uang, meski terkait, tidak termasuk dalam pencucian uang tetapi lebih pada tindakan mencetak atau memproduksi mata uang palsu yang melanggar hukum.

Pencucian uang umumnya melibatkan tiga tahap: placement, yaitu memasukkan uang ilegal ke sistem keuangan; layering, yaitu menyembunyikan asal usul melalui serangkaian transaksi; dan integration, yaitu menggabungkan dana tersebut ke dalam ekonomi formal. Salah satu teori besar yang relevan adalah teori "Broken Windows" yang menunjukkan hubungan antara tindak pidana kecil seperti pemalsuan dengan kejahatan terorganisir seperti pencucian uang.

Kasus global mencuat, seperti kasus pencucian uang oleh Cartel Medellín di bawah kepemimpinan Pablo Escobar. Mereka menggunakan perusahaan cangkang dan bank untuk menyembunyikan keuntungan dari perdagangan narkoba. Di Indonesia, kasus serupa muncul dalam skandal korupsi besar, seperti kasus Gayus Tambunan, di mana hasil kejahatan disembunyikan melalui beragam investasi dan properti.

Meskipun berbeda, pemalsuan uang sering kali mendukung operasi pencucian uang. Sebagai contoh, jaringan kejahatan dapat mencetak uang palsu untuk membeli aset ilegal yang kemudian dicuci menjadi dana bersih. Kasus pemalsuan uang oleh sindikat internasional di Asia Tenggara menunjukkan bagaimana uang palsu sering menjadi bagian awal dalam rantai kejahatan keuangan.

Di tingkat nasional, UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menjadi payung hukum yang memperketat pengawasan aktivitas keuangan mencurigakan. Pasal-pasal ini beriringan dengan sanksi tegas untuk pemalsuan uang berdasarkan Pasal 244 KUHP.

Seorang pakar keuangan kriminal, Friedrich Schneider, mengemukakan bahwa ekonomi bayangan yang mencakup pencucian uang menyumbang hingga 20% dari PDB di negara berkembang. Hal ini menunjukkan besarnya dampak ekonomi dari kejahatan tersebut.

Tindakan internasional, seperti kerja sama antarnegara melalui Financial Action Task Force (FATF), juga menjadi kunci dalam menekan praktik ini. FATF merekomendasikan penguatan sistem perbankan untuk melaporkan transaksi mencurigakan sebagai salah satu langkah preventif.

Pengawasan teknologi modern, seperti penggunaan artificial intelligence untuk mendeteksi transaksi tidak wajar, turut mempersempit ruang gerak pencuci uang. Namun, tantangan muncul ketika pelaku beralih ke cryptocurrency, yang dikenal lebih sulit dilacak.

Secara akademis, teori "Routine Activities" menjelaskan bahwa peluang kejahatan meningkat dengan adanya target yang cocok, kurangnya pengawasan, dan motivasi tinggi. Dalam konteks ini, pemalsuan dan pencucian uang sering berjalan seiring sebagai bagian dari kejahatan terorganisir.

Kasus pemalsuan uang yang ditemukan UIN Alauddin Makassar akhir tahun 2024 ini. Temuan ini melibatkan pejabat kampus yang diduga memproduksi dan mengedarkan uang palsu dalam jumlah besar di lingkungan kampus dan sekitanya. Berdasarkan hasil penyelidikan terkini kepolisian, pelaku menggunakan peralatan canggih untuk mencetak uang palsu yang menyerupai uang asli. 

Kasus ini menjadi peringatan keras bagi institusi pendidikan untuk meningkatkan pengawasan internal dan mendidik mahasiswa tentang konsekuensi hukum dari kejahatan semacam ini. Hal ini juga menunjukkan bahwa pemalsuan uang dapat terjadi di berbagai lapisan masyarakat, termasuk di dunia akademik.

Kesimpulannya, meski pencucian uang dan pemalsuan uang adalah tindak pidana yang berbeda, keduanya memiliki potensi untuk saling melengkapi dalam praktik kejahatan finansial. Sinergi hukum, teknologi, dan kerja sama global diperlukan untuk memberantasnya secara tuntas.

0 Comments