Makna Slogan dan Tingkah Laku Muda-Mudi Sinjai di Tongkrongan

Foto: A. Wahyu Pratama Hasbi (penulis)

UJARAN.OPINI – Dikenal dengan slogan Bumi Panrita Kitta, Kabupaten Sinjai. Ini menjadi hal yang ikonik sebagai daerah yang mengindikasikan bahwa masyarakat Kabupaten Sinjai merupakan masyarakat yang religius dan didominasi oleh kaum muslim. Bukan tanpa dasar slogan itu, sebab menelisik melalui pendekatan historis masyarakat Kabupaten Sinjai sebelum kemerdekaan terdapat dua tokoh religius humanistik, ialah K.H. Ahmad Marzuki dan K.H. Muh Tahir yang merupakan duua tokoh agama yang berpengaruh di Sulsel, khususnya di Kabupaten Sinjai itu sendiri.

Hal itu bahkan seharusnya menjadi identitas sejarah yang tak boleh tergerus oleh zaman dan arus gelombang peradaban sekalipun, sebab ditengah era menuju five point zero ini masih menjadi harapan besar akan adanya masyarakat Kabupaten Sinjai dengan segala keotentikan ilmu pengetahuan, khususnya dibidang agama untuk menyiarakan islam dan nilai-nilai moralitas untuk generasi muda Kabupaten Sinjai kedepannya agar tidak hanya memaknai hal simbolik namun jauh tercelup pada hal yang esensial.

Tak hanya itu, bahwa dulu di Kabupaten Sinjai, khususnya di pelosok-pelosok kecamatan sering dijumpai kelompok-kelompok guru mengaji yang bekerja ikhlas untuk mencerdaskan anak-anak kampung menghafal Al-Quran. Hal itu menurut penulis cukup menjadi landasan bahwa Slogan Bumi Panrita Kitta yang disematkan untuk Sinjai semestinya diberdayakan dan dibumikan baik dari tutur kata, dan tindakan aktual yang tak luput dari norma agama dan perspektif historis moralitas masyarakat.

Bahwa salah satu cerminan nyata dari masyarakat religius ialah etika dan moralitas menyongsong sebuah peradaban nyata yang bersandar pada nilai-nilai kebaikan. Sejarah mencatat bahwa sebuah peradaban akan hancur tatkala pesan-pesan agama dan supremasi moral kemanusiaan tidak ditaati lagi oleh masyarakatnya. Lebih keji lagi, kita juga mendapati bahwa kehancuran akan selalu membayangi sebuah peradaban dimana masyarakatnya tidak bisa berdampingan dengan peradaban lainnya, membunuhi para pemimpin dan nabi mereka sendiri, dan memusuhi bangsa lain yang tidak sejalan dengan kepentingan mereka.

Memetik pelajaran dari bangkit dan runtuhnya sebuah peradaban, kita menemukan bahwa: peradaban akan bangkit dan tetap berjaya, tatkala masyarakatnya tetap konsisten mematuhi pesan nabi dan pemimpin yang taat (pada nilai-nilai ketauhidan). Yaitu mematuhi pesan agama (religius) dan berpegang teguh nilainilai moral bangsanya. Namun peradaban akan cepat runtuh tatakala mereka mulai ingkar terhadap agama dan memusuhi pemimpin yang taat kepada agama dan moral bangsanya.

Menurut, ilmuwan Muslim Ibn Khaldun dalam “al-Muqaddimah”, bahwa yang merusak peradaban diantaranya adalah tenggelamnya masyarakat dalam kemewahan dan memperturutkan hawa nafsunya sehingga terjerumus dalam kehancuran. Bahwa, moralitas yang dihasilkan oleh peradaban dan kemegahan adalah sebuah kerusakan. Maka apabila manusia telah rusak moral dan agamanya, maka rusak pulalah kemanusiaannya dan jati dirinya. Sebab manusia dianggap sebagai manusia karena bergantung pada sejauhmana dia mampu mengambil manfaat dan menghindari keburukan secara konsisten.

Dengan demikian sebenarnya kita telah diingatkan untuk membangun sebuah peradaban yang benar-benar beradab, baik kepada Tuhan, kepada sesama, maupun kepada alam sekitar kita. Hal ini dapat dilihat jelas melalui konsep madinah atau civil society, dimana berkumpulnya sebuah komunitas yang bersama-sama membangun peradaban yang didasari supremasi moral dan ruh keagamaan.

Menengok realitas, kerap kali kita bersentuhan dengan masyarakat yang notabenenya lahir proses dialektika baik tutur kata, maupun sikap. Namun yang jadi soal ialah tentang bagaimana moralitas dan etika menjadi urgensi penting di ruang-ruang dialektik inklusif, salah satunya di tempat nongkrong. Bahwa yang menjadi penting adalah tentang adab, bahwa yang menjadi penting adalah tentang eksistensi nilai-nilai leluhur yang dibudayakan tatkala dialektika di ruang terbuka semakin massif.

Baru-baru ini sempat menjadi perbincangan, nampak viral aksi beberapa muda-mudi yang menaiki meja lalu berjoget disalah satu cafe yang ada di pusat kota Kabupaten Sinjai. Hal ini nampak biasa saja ditengah arus gelombang tuntutan lingkungan yang mendoktrin kepada sesuatu hal yang entah berujung pada kebaikan maupun keburukan.

Aksi Joget-joget beberapa waktu lalu menjadi penanda dari realitas, bahwa ia memiliki kaitan erat sehingga tontonan yang demikian itu sebagai penampakan akan sedikit banyaknya menyampaikan simbol dan slogan. Terlepas dari oknum muda-mudi Sinjai yang berjoget diatas meja tatkala menikmati akhir pekannya, tentu ada pandangan ketika melihat tersebut terlepas dari niat seseorang tersebut.

Pertama, secara rasionalitas maka konsepsi yang telah diubah dari realitasnya akan melahirkan pandangan penafsiran beragam mungkin salah satunya bahwa Slogan Bumi Panrita Kitta yang disematkan untuk Kabupaten Sinjai bukan menjadi hal penting sebab tak sesuai realitanya sehingga kita tak perlu menjadikannya soal sebab mereka melakukan hal tersebut tak menafsirkan apa makna dari “Bumi Panrita Kitta”.

Kedua, bukan tidak mungkin mereka tidak memahami slogan tersebut yang memiliki makna kebudayaan secara kultural yang hidup dan berkembang pada masyarakat Sinjai yang pada dasar kita sendiri tidak pernah menjadikannya falsafah hidup baik di pemerintahan ataupun kehidupan bermasyarakat hingga pada aplikatif kehidupan keluarga. Sehingga dengan adanya aksi joget-joget tersebut tidak merugikan ataupun mengurangi nilai dari sebuah prosesi kehidupan masyarakat Sinjai baik sebagian ataupun seluruhnya.

Pandangan Empiris mengatakan, bahwa makna slogan yang telah diubah dalam bentuk tingkah laku tersebut tidak sesuai realitasnya sehingga imajinasi akan meluas bahkan menafsir kejadian tersebut sebagai perwakilan fenomena masyarakat Sinjai apatalagi dengan Panrita Kitta adalah bagian dari perjuangan keluhuran masyarakat Sinjai dulu, bukan hal elok jika Panrita Kitta dengan tingkah laku yang tak senonoh dalam pandangan subjektifiti penulis mewakili kehidupan masyarakat Sinjai yang juga dijuluki sebagai ‘Bumi Panrita Kitta’ sebuah slogan kecerdasan masyarakatnya mengedepankan sikap etis dan intelektual tentu itu tak sesuai.

Tentang perilaku dan fenomena joget itu djadikan sebagai sebuah koreksi atas kehidupan kita sebagai masyarakat Sinjai sudah sesuai dengan kehidupan masyarakat Sinjai atau tidak? Mari kita jawab sendiri dan menilainya sendiri sebab yang paling tau tentang diri seseorang hanya dirinya. Bahwa hidup adalah Upaya mengajukan pertanyaan pertanyaan kepada diri sendiri.

Dengan demikian sebenarnya kita telah diingatkan untuk membangun sebuah peradaban yang benar-benar beradab, baik kepada Tuhan, kepada sesama, maupun kepada alam sekitar kita. Hal ini dapat dilihat jelas melalui konsep madinah atau civil society, dimana berkumpulnya sebuah komunitas yang bersama-sama membangun peradaban yang didasari supremasi moral dan ruh keagamaan.

Menyoal hingga menjadi bahan gosip tentang fenomena tersebut menjadi tidak penting sebab yang terpenting adalah bagaimana cita, cinta dan cipta itu hadir sebagai sosok hikmah atas apa yang pernah kita lalui dan sedang kita jalani serta yang akan kita hadapi, toh kehidupan ini hanya tentang siapa yang berbuat untuk kebaikan. Semua kita pernah berbuat buruk juga berbuat baik, itu semua menjadikan kita semakin tahu bahwa hari esok kita ingin mempersembahkan apa.

Sekian, semoga masyarakat Sinjai termasuk saya menjadikan beberapa hal sebagai sapaan kultur sekaligus kecintaan kita terhadap makna akan slogan Bumi Panrita Kitta yang disematkan untuk Sinjai agar tetap tahu makna secara mendalam baik pendekatan moralitas dan ruh-ruh religius juga humanistik yang bersemayam dalam esensi dan makna.

Penulis: A. Wahyu Pratama Hasbi, Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Alauddin Makassar asal Kabupaten Sinjai

0 Comments