Postmodernisme Hingga Post-Truth: Kehidupan Antara Skeptisisme dan Kehampaan Manusia Modern

Foto Muhammad Syarif Hidayatullah.

UJARAN.OPINI – Kebebasan mendapati kesemrawutannya tanpa bisa dihentikan melalui arus informasi saat ini, terutama karena kekuatan sayap liberalisme dan demokrasi. Ribuan postingan tiap hari selalu dijumpai dalam media sosial entah mendapatkan pembaca yang baik dan kritis informasi atau ia telah beratus-ratus kali telah disebar tanpa cermat menakar informasi. Kita menghadapi fakta (objective facts) kadang tak menemui kesulitan berarti pada awalnya (insaf pada fakta), namun media bersama kekuatan teknologi informasi sebenarnya telah memainkan peranan dominasi dalam membentuk kenyataan (realitas) dalam pikiran manusia (media constructs human mind), karenanya terjadi persepsi yang cenderung keliru dalam mempercayai fakta atau sekadar membuat keputusan di era mega narasi.

Di saat postmodernisme menyediakan stimulus kritik bagi hampir segala bidang hidup secara liberal (bebas) dan penuh skeptis (keragu-raguan), kita kemudian memainkan peranan paling besar dalam menentukan dan menyebarkan informasi di era berlimpahnya fakta data dan kebebasan ekspresi dipertinggi daya teknologi. Kita sadar bahwa bukti atau fakta (evidence) tidak pernah berbicara dengan sendirinya, akan tetapi manusialah yang berbicara atau menerangkan fakta. Inilah peranan sains dalam meneliti dan menerangkan kepada manusia kini. Walaupun sekarang, demikian peran sains terebut oleh peranan manusia modern dalam menjelaskan sendiri versi ilmu dan informasi. Di sinilah letak potensi perbedaan dalam menanggapi informasi terlebih jika ia (informasi) tertentu telah menjadi keyakinan dan proses pencampuran emosi diri sebagai “fakta pribadi.”

Post-Truth masuk dalam kategori ‘word of the year 2016’ versi Oxford Dictionaries, di mana argumen fakta objektif tidak lebih penting ketimbang keyakinan pribadi dan emosi. Kita cenderung menolak informasi yang tidak lebih sesuai dengan pilihan dan emosi dibanding mempercayai fakta objektif yang ada. Kemudian ketika melihat fenomena hoaks (fake news) di media sosial yang berlatar banyak jenis dan tujuan-tujuan tertentu, manusia melihat segala hal yang terhampar meluap di depan layar TV, komputer hingga gawai (gadget) pribadi, namun tanpa disadari bentuk-bentuk informasi yang ada telah tersimpan baik dalam pikiran ketika kita berinteraksi bersama data tatkala melihatnya. Kita tertarik kepada informasi yang telah dilihat dan didengar terlebih lagi ketika ia menstimulus emosi. Sebenarnya menemukan informasi yang salah dan berbau SARA (suku, agama, ras, antar golongan) yang menjadi isi sebuah postingan tertentu biasanya mesin pencari informasi (search engine) dapat membaca dan memblokir informasi dan postingan palsu tertentu. Namun masalah terjadi, ketika informasi tersebut disebarkan secara personal, sebagai contoh; Si A mengirim pesan atau informasi secara pribadi langsung kepada Si B, dan proses ini berkali-kali diduplikasi hingga akhirnya proses membagi (share) membentuk konfigurasi jaring laba-laba yang penuh hoaks, fenomena ini bukan hanya berhenti dari A ke B saja, akan tetapi ia menyebar sampai ke berbagai daerah dan media yang jauh lebih banyak.

Ada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Universitas Stanford kepada orang-orang yang berusia 15- 20 tahun, mereka diminta untuk membedakan antara tulisan bagian fakta dan opini dari sebuah tulisan yang para peneliti berikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ternyata 82 persen responden tak mampu membedakan antara fakta dan opini tulisan yang diberikan. Pada penelitian lain, oleh Solomon Asch, sebagai sebuah penelitian psikologis yang menguji konformitas (suatu pengaruh sosial kepada seseorang sehingga ia mengubah sikap dan perilaku agar sesuai dengan norma sosial yang ada) kepada beberapa responden dengan menanyakan perkara yang paling mudah, yaitu responden diminta untuk menemukan dua buah garis yang sama panjang dari jumlah empat garis yang disediakan. Dalam penelitian tersebut, pada awalnya mayoritas reponden menjawab secara benar, namun ketika ditanyakan sebanyak 12 kali pengulangan dengan pertanyaan yang sama, maka hasilnya; 75 persen responden menjawab salah dengan hanya seorang saja yang benar, dan 32 persen rata-rata menjawab salah dari seluruh rentang waktu yang telah diberikan dengan pertanyaan yang tetap sama. Penelitian tersebut membuktikan bahwa manusia modern lebih mengikuti emosi dan pengaruh sosial sekitar dibanding melihat dan mempertimbangkan fakta objektif yang ada. Terlebih jika terdapat perasaan ketertarikan seseorang terhadap kelompok atau masyarakat tertentu (kohesivitas).

Kita bertanya kemudian, sebenarnya apa yang menjadi perbedaan hoaks di abad-abad sebelumnya dibanding sekarang? Bukankah sejak dulu tetap ada dan disebut hoaks? Perbedaannya adalah zaman sekarang sebagai era teknologi informasi, di mana hampir seluruh data dan informasi memenuhi kehidupan manusia. Walaupun pada sisinya yang positif, penyebaran dan pembuat informasi bukan hanya milik kalangan tertentu saja. Itulah mengapa Post-Truth sebagai fenomena melimpahnya informasi bersamaan dengan menguatnya skeptisisme manusia terhadap informasi yang telah ada, khususnya kepada fakta objektif.

Timbul pertanyaan yaitu, berbagai data dan informasi yang ada kemudian siapakah yang dapat menemukan kembali dan mempercayainya sebagai fakta objektif? Tak ada yang mampu menyaringnya baik oleh blog, website, mesin pencari, atau media sosial lain, selain oleh manusia. Hal ini kemudian menuntut solusi, adalah dengan cara melakukan “Pengecekan Fakta.” Kita melihat berbagai jenis informasi dan keutamaan berita-berita tertentu namun bukan berarti kita berhenti untuk memastikan kebenaran dengan hanya mempercayai perasaan dan godaan berita tertentu yang menarik minat pribadi. Tentu saja dibutuhkan langkah spesifik dan preventif untuk bertahan di tengah zaman Post-Truth ini dengan cara berikut: pertama, terus bertanya dan selektif. Sumber informasi yang ada di layar anda membutuhkan kejelasan dan keabsahannya agar dapat diterima walaupun informasi hoaks tertentu menarik perhatian kita agar cepat mempercayainya.

Tidak hanya itu, fenomena Post-Truth juga lebih disebabkan bukan oleh fakta objektif yang tak dapat dipegang lagi, akan tetapi sebabnya yang lain karena kredibilitas pembicara (ilmuwan, guru, dosen atau politikus dan pembicara publik) yang tak mampu menghadirkan kepercayaan mumpuni bagi masyarakat dunia. Terlebih lagi ketika emosi telah mendominasi pikiran ketika ingin menggali dan mempercayai informasi. Kedua, jelajahi lebih dan temukan sumber-sumber lain sebagai pembanding. Hal ini menghindari bias dan kesalahan dan atau ketidak sempurnaan bagian tertentu dari isi informasi. Apalagi banyak postingan dan peran subjektivitas manusia dalam membuat dan membagikan informasi tertentu yang tak relevan dan tak sesuai fakta dan kebenaran. Karena seperti apapun kita tak pernah setuju dengan berita dan informasi yang tak dapat dipertanggung jawabkan, di tengah keperluan dan pekerjaan kita yang tak luput dari penggunaan teknologi bersamaan hoax yang juga semakin menjamuri media sosial dan sumber informasi. Terakhir, lakukan diskusi dan ikut serta dalam menemukan fakta objektif yang dapat dipercaya dari pihak lain. Ketika semakin banyak diskusi maka semakin banyak bertemunya ide dan informasi, pada saat yang sama hoax (fake news) dapat diperkecil hadirnya dalam konsumsi informasi.

Ketika terjadi perbedaan informasi, akan sangat lebih baik jika tidak mencela atau menyalahkan secara terburu-buru pihak lain yang disinyalir memiliki informasi sebagai hoax tertentu (apalagi di area publik, setiap orang tidak suka dinasihati dan dikoreksi di depan umum) dengan terlebih dahulu mencari sumber otentik lain dengan berdiskusi bersama dibanding mempertahankan argumen sendiri atas dasar justifikasi diri, bukan karena sebab skeptis atas modernisme dan sains hingga berdalil telah berada pada era postmodernisme. Apalagi pada sisi paling kronis, bangga berpegang kukuh di atas kebodohan dan golongan atau karena komunitas yang diyakini. Akhirnya manusia sebagai pembuat informasi tak boleh hanya menyerah karena narasi ciptaannya sendiri di tengah proses dunia liberalisasi dan sekulerisasi.

Oleh: Muhammad Syarif Hidayatullah (Penulis, Direktur Eksekutif Salaja Pustaka Institute)

Editor : Kasmir

0 Comments