UU MD3 Digugat ke MK Terkait Keterwakilan Perempuan, AKD Tak Cukup 30 Persen?

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materi terkait Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan RakyatDewan Perwakilan RakyatDewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3 2014), serta Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua UU MD3 terhadap UUD 1945. Sidang yang berlangsung pada Senin (22/12/2024) 
UJARAN.CO.ID, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materi terkait Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3 2014), serta Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua UU MD3 terhadap UUD 1945. Sidang yang berlangsung pada Senin (22/12/2024) ini adalah bagian dari perkara uji materi dengan nomor perkara 169/PUU-XXII/2024, yang diajukan oleh Koalisi Perempuan Indonesia, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kalyanamitra, dan Titi Anggraini.

Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra, kuasa hukum para Pemohon, Sandy Yudha Pratama Hulu, menyampaikan sejumlah perbaikan dalam permohonan mereka. Salah satu perbaikan yang disampaikan adalah perubahan dalam bagian posita, yang membahas perbedaan materi permohonan dengan putusan MK sebelumnya seperti pada Putusan Nomor 82 dan 89/PUU-XII/2014. Sandy menjelaskan bahwa perbaikan ini bertujuan untuk mengklarifikasi aspek yang belum dipertimbangkan dalam keputusan-keputusan terdahulu.

Pada posita bagian b, Sandy mengkritik hilangnya pengarusutamaan gender dalam UU MD3, yang menurutnya telah mengabaikan putusan MK sebelumnya terkait pentingnya pengarusutamaan gender dalam pengaturan politik. Hal ini dianggap bertentangan dengan prinsip negara hukum yang dijamin dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang mengharuskan pemenuhan hak konstitusional tanpa diskriminasi.

Sandy juga menyebutkan adanya constitutional disobedience atau pembangkangan konstitusi dalam pengaturan keterwakilan perempuan dalam pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD). Pembangkangan konstitusi ini dianggap sebagai pelanggaran terhadap prinsip kesetaraan gender yang harus diterapkan dalam berbagai sektor, termasuk politik dan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif.

Lebih lanjut, pada posita bagian c, Sandy menegaskan bahwa pemberian jaminan keterwakilan perempuan dalam politik adalah konstitusional dan harus diatur dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Ia menambahkan bahwa tindakan afirmatif menjadi salah satu sarana untuk memperkuat kapasitas perwakilan perempuan di struktur pemerintahan dan politik, sebagaimana diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mendukung partisipasi aktif perempuan di politik.

Perbaikan juga dilakukan pada petitum, di mana Pemohon meminta penetapan minimal 30 persen perempuan dalam pimpinan AKD. Petitum ini mencerminkan dorongan untuk memperbaiki ketidakseimbangan dalam keterwakilan perempuan di lembaga legislatif Indonesia, yang hingga saat ini masih jauh dari ideal, yakni di bawah 30 persen pada periode 2024-2029.

Pada persidangan perdana yang digelar pada Selasa, 10 Desember 2024, Pemohon mengungkapkan bahwa hak konstitusional mereka telah dirugikan, terutama dalam hal keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Mereka menyoroti rendahnya keterwakilan perempuan dalam kepemimpinan AKD, yang dianggap tidak sesuai dengan komitmen untuk menjamin keterwakilan perempuan dalam politik di Indonesia.

Para Pemohon mengajukan dua isu utama dalam permohonan uji materi ini, yaitu pengaturan keterwakilan perempuan di pimpinan AKD dan distribusi anggota perempuan dalam AKD secara proporsional sesuai dengan jumlah perempuan di setiap fraksi. Mereka juga mengusulkan agar ketentuan ini diinterpretasikan untuk menciptakan keberimbangan dalam komposisi anggota perempuan di berbagai badan dan komisi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), seperti Badan Musyawarah, Badan Legislasi, dan Badan Anggaran.

Pemohon menilai ketidakseimbangan keterwakilan perempuan ini mencerminkan adanya hambatan struktural yang menghalangi partisipasi perempuan secara inklusif dalam politik Indonesia. Mereka berharap bahwa Mahkamah Konstitusi dapat menyatakan sejumlah pasal-pasal dalam UU MD3 dan UU MD3 2018 bertentangan dengan UUD 1945 dan mengharuskan penafsiran yang menjamin keterwakilan perempuan dalam struktur parlemen Indonesia.

Sebagai langkah selanjutnya, Mahkamah Konstitusi akan melanjutkan proses pemeriksaan permohonan uji materi ini untuk memastikan apakah pengaturan keterwakilan perempuan di AKD sudah sesuai dengan UUD 1945 dan prinsip-prinsip kesetaraan gender yang dijamin oleh konstitusi negara. Pemohon berharap, dengan keputusan ini, akan tercipta keadilan gender di dalam sistem politik Indonesia, khususnya dalam pengaturan pimpinan AKD yang lebih adil dan inklusif bagi perempuan.

0 Comments