Mahasiswa Gugat UU Pilkada, Anggaran APBD Picu Penyalahgunaan untuk Kampanye Petahana

Seorang mahasiswa bernama Binti Lailatul Masruroh menggugat Pasal 166 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
UJARAN.CO.ID, JAKARTA – Seorang mahasiswa bernama Binti Lailatul Masruroh menggugat Pasal 166 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan yang terdaftar sebagai Perkara Nomor 173/PUU-XXII/2024 itu mempersoalkan pendanaan pilkada yang dibebankan pada APBD karena dianggap berpotensi disalahgunakan oleh petahana untuk kepentingan politik.

Menurut Binti, ketentuan ini menghambat hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih secara adil, sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. "Ada indikasi penyalahgunaan dana publik untuk kepentingan politik," ujarnya dalam sidang pendahuluan yang digelar daring pada Jumat (13/12/2024).

Pengalihan APBD untuk pilkada, kata Binti, mengurangi anggaran yang seharusnya digunakan untuk pelayanan publik seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur, sehingga melanggar Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Selain itu, kurangnya transparansi dalam pengelolaan dana publik selama pilkada mencederai hak masyarakat atas informasi sebagaimana dijamin dalam Pasal 28F UUD 1945.

Binti juga menyoroti bias hukum yang sering menguntungkan petahana. Ia mencontohkan kasus Gubernur Bengkulu yang memanfaatkan dana Rp7 miliar hasil pemerasan untuk mendukung pencalonan kembali, merugikan masyarakat serta hak individu lainnya.

Pemohon mengusulkan agar pendanaan pilkada dibebankan pada APBN, mengingat Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) merupakan bagian dari KPU pusat. Sistem ini diharapkan lebih transparan dan independen.

Dalam petitumnya, Binti meminta MK menyatakan Pasal 166 UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pasal tersebut menyebutkan bahwa pendanaan pilkada berasal dari APBD, dengan dukungan APBN sesuai aturan yang berlaku.

Hakim Konstitusi Anwar Usman menyoroti inkonsistensi dalam permohonan Binti, yang meminta MK mengalihkan pendanaan ke APBN, tetapi petitumnya hanya meminta penghapusan pasal a quo. “Kalau pasal ini dihapus, bagaimana pilkada dibiayai?” tanya Anwar.

Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menilai alasan permohonan masih lemah dan kurang tajam. Pemohon dianggap hanya mendeskripsikan kasus tanpa analisis hukum yang mendalam. “Argumen soal penghapusan pendanaan perlu dipertimbangkan lebih matang,” tegas Guntur.

Ketua Majelis Saldi Isra memberi waktu 14 hari kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya. Berkas perbaikan harus diterima Mahkamah paling lambat pada Jumat, 27 Desember 2024. Sidang selanjutnya dijadwalkan setelah tenggat waktu tersebut.

0 Comments