Ini Komitmen PT Vale Pada Indonesia Dalam Kontrak Karya, Poin Pertama "Nol" Besar Realisasi

UJARAN.SULSEL – Pada 25 Juli 2014 lalu pemerintah Indonesia melalui kementrian ESDM dan Perusahaan tambang Nikel asal Brazil PT Vale telah menandatangani Memorandum Of Understanding (MOU) perpanjangan kontrak karya selama 2×10 tahun, dalam MOU tersebut terdapat sejumlah poin penting yang harus di penuhi oleh PT Vale dalam menggarap lahan tambang di 3 (tiga) Provinsi yakni Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.

Dari sejumlah komitmen tersebut, poin MOU yang hingga 2022 ini belum terealisasikan adalah kewajiban PT Vale membangun SMELTER atau pabrik pemurnian nikel senilai 4 Milliar US Dollar.

Terkait hal itu Anggota Komisi VII DPR RI Rusda Mahmud saat melakukan peninjauan ke PT Vale di kabupaten Luwu Timur menagih janji pembangunannya yang belum di realisasikan.

“Kita masih ingat betul kontrak karya tahun 2014 lalu, dimana PT Vale akan menginvestasikan pembangunan pabrik smelter senilai 4 milliar US Dollar di wilayah Morowali Sulteng dan Pomalaa Sultra.” Ucap Rusda Mahmud di hadapan Direktur Utama PT Vale Indonesia Febriany Eddy, Kamis (15/09/22).

Poin pertama MoU itu adalah, pemerintah akan memberikan perpanjangan operasi 2×10 tahun atau hingga 2045. Dalam KK terkini, kontrak Vale berakhir tahun 2025. Syaratnya, Vale mesti membuat komitmen investasi pengembangan smelter nikel matte senilai US$ 2 miliar. Kalau sudah menyatakan komitmen tapi tidak menjalankan, pemerintah dapat menterminasi kontrak.

Kedua, Vale bersedia membayar royalti nikel matte lebih tinggi, menjadi 2%, dari tarif yang kini berlaku, yaitu 0,9%. Tarif baru itu akan berlaku sekarang. “MoU juga menyatakan, Vale bersedia membayar royalti 3%, jika harga  jual nikel matte naik menjadi US$ 21.000 per ton

Ketiga, pemerintah akan menerbitkan beleid baru yang meringankan kewajiban divestasi bagi Vale, yakni menjadi 40%. Angka itu bahkan lebih rendah daripada aturan yang termuat dalam Peraturan Pemerintah No 24/2012 tentang Kewajiban Divestasi bagi Perusahaan Asing, yaitu minimal 51%, yang dilakukan secara bertahap.

Keempat, luas lahan tambang Vale yang berada di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah akan dipangkas dari 190.000 hektare (ha) menjadi 75.000 ha. Kelima, Vale menggunakan barang dan jasa dari domestik. Keenam, Vale berkomitmen memproses bijih nikel menjadi nikel matte.

Dikutip dari KABAR.NEWS, Ketua Komisi D DPRD Sulawesi Selatan, Rahman Pina, menyebut PT Vale Indonesia tidak berkomitmen melaksanakan amandemen kontrak karya atau KK tahun 2014 yang mengharuskan perusahaan tambang ini membangun smelter.

Menurut Rahman Pina, dalam amandemen KK tahun 2014, PT Vale wajib membangun pabrik pemurnia biji nikel di Blok Bahodopi, Sulawesi Tengah dan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Perusahaan baru memiliki smelter di Sorowako, Luwu Timur.

“PT. Inco kala itu, sebenarnya sudah lalai dari komitmennya karena dalam KK generasi pertama, Inco tegaskan akan membangun pabrik di Bahodopi dan Pomalaa tahun 2005. Tapi rupanya janji  tinggal janji saja dan tidak ada yang terealisasi,” kata Rahman Pina dikutip dari unggahannya di Facebook, Rabu (30/3/2022). KABAR.NEWS mendapat izin mengutip pernyataan tersebut.

Selain itu, lanjut Rahman Pina, PT Vale berjanji membangun smelter sebesar 4 miliar dollar AS pada dua blok tersebut sebagai syarat kesepakatan amandemen KK 2014.

Menurut legislator Golkar itu, jika smelter ini tidak dibangun dan KK diperpanjang yang tersisa tiga tahun lagi, maka perusahaan berbasis di Brasil itu dianggap membohongi negara.

“Tapi saya ingin berpikir positif saja, smelter itu akan selesai tahun depan 2023. Dua tahun sebelum kontrak selesai 2025,” katanya.

Sementara itu, pengamat politik dan kebijakan publik M. Saifullah menilai penyataan CEO Vale Indonesia Tbk Febriany Eddy dan Direktur Keuangan Bernardus Irmanto terkait proyek pengembangan PT. Vale Indonesia Tbk di Sulawesi dengan total nilai mencapai USD 8,6 miliar atau sekitar Rp 128,2 triliun (kurs Rp 14.906 per USD) hanya mempertegas bila perusahan ini memang hanya bermodalkan izin kontrak karya kemudian ‘menjual’ kewenangannya tersebut untuk mencari investor lain yang ironisnya juga berasal dari luar negeri.

“Mungkin terlalu berlebihan bila saya katakan bahwa sebenarnya posisi PT. Vale ini hanya perusahaan broker yang menenteng izin kontrak karya terus menjualnya ke investor asing lain. Tapi dari apa yang dipaparkan petinggi PT. Vale begitulah realitasnya”, ujar peneliti dari Pusat Kajian Politik dan Kebijakan Publik (PKPK) ini saat dihubungi, Kamis (15/9/2022).

Diketahui PT Vale Indonesia menggandeng perusahaan asal China yaitu China Baowu Steel Group dan Shandong Xinhai Technology dengan nilai investasi sebesar 2,1 miliar dolar AS atau sekitar Rp31 triliun, untuk membangun pabrik pemurnian dan pengolahan atau smelter nikel di Kecamatan Bahodopi Kabupatem Morowali Sulawesi Tengah.

Kemudian di Sorowako Luwu Timur, Sulsel, PT Vale kembali menggandeng perusahaan asal China Huayou Cobalt Company atau akrab disebut Huayou yang rencananya akan membangun smelter nikel berteknologi tinggi di sana.

Saiful menyebut apa yang dilakukan oleh PT. Vale tidak lebih hanya menjual aset sumberdaya kekayaan mineral Indonesia kepada pihak asing.

“Ini sama dengan menjual tanah air kita dengan hanya bermodal kontrak karya lalu berbagi saham”, tandasnya.

Menurut Saiful, sebenarnya yang dipersoalkan dalam karut marut yang ditimbulkan PT. Vale ini bukan soal anti asing atau tidak. Namun pada soal keadilan, pemerataan dan hak konstitusional anak bangsa (pribumi -red) unruk ikut menikmati dan mengelola kekayaan sumberdaya alam-nya.

“Ini bukan soal anti asing. Ini soal konstitusi yang dengan tegas tertulis dalam pasal 33 UUD 45”, tegasnya.

Karena itu, dia menekankan memang ada baiknya PT. Vale, Pemprov beserta seluruh elemen masyarakat di tiga provinsi di Sulawesi membuka ruang dialog untuk kebaikan bersama.

Menurut Saiful, selama ini Pusat Kajian Politik dan Kebijakan Publik (PKPK) memang telah lama melakukan kajian intensif terkait keberadaan PT. Vale Indonesia Tbk yang dinilai masih sangat minim berkontribusi bagi daerah.

“Dari kajian dan identifikasi masalah kami dari PKPK menyimpulkan harus ada perubahan kalau tak ingin memicu rakyat di daerah semakin gerah. Pertama, kami mengusulkan agar perubahan kontrak karya menjadi IUPK nanti bisa dilanjutkan prosesnya dengan beberapa syarat seperti ketentuan penguasaan lahan tidak lebih 25.000 hektar”, bebernya.

Kemudian, lanjut Saiful, syarat dua hingga tiga persen perhitungan perolehan PNBP untuk hak pemerintah provinsi tidak diberlakukan dan kembali pada ketentuan pasar HPM (nikel) yang ditetapkan pemerintah. Kemudian besaran Landrend dalam bahasa umum “sewa tanah” wajib ditinjau kembali.

“Juga harus dilakukan review kembali terkait penggunaan sungai Larona, Sungai Balambano dan Sungai Karebbe sabagai pusat Pembakit Tenaga Air (PLTA kap. 365 MW) yang dimanfaatkan untuk kebutuhan komersial dengan nilai kemanfaatan ekonomi yang tinggi, tetapi kemanfaatan terhadap masyarakat Lutim sangat minim karena masyarakat tidak gratis listrik tetapi tetap seperti pengguna dikabupaten lain”, ujarnya.

Lajut Saiful, terkait kapasitas 10,7 MW yang katanya untuk masyarakat, faktanya dijual ke PLN. Ini wajib ditransparankan tatakelola jual belinya.

“Danau Matano, Danau Mahalona dan Danau Towuti sebagai Kawasan Konservasi Taman Wisata Alam perlu dikaji pemanfaatannya yang selama ini hanya memberi dampak ekonomi sepihak, apakah sudah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan”, ujar Saiful.

“Demikian juga , katanya, Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) ex wilayah Kontrak Karya sepatutnya dikembalikan kepada masyarakat untuk dikelola sabagai anak bangsa dan tentunya memenuhi ketentuan UUD 1945 pasal 33 ayat 1, 2 dan 3 yang dilakukan dengan mekanisme penunjukan langsung oleh pemerintah dengan melibatkan melibat DPR RI, DPRD Provinsi serta DPRD Kabupaten dengan mekanisme tatakelola bisnis to bisnisnya yang diserahkan keoada BUMD Kabupaten dan BUMD Provinsi sesuai Pasal 33 ayat 1 dan 2 UUD 1945”, kata Saifullah.

Kemudian, kata Saiful, model investasi pembangunan smelter yang marak saat ini adalah pemilik IUP bersepakat dengan Investor untuk membangun smelter dengan sharing saham Investor 51% dan pemilik IUP 49% . Akan tetapi investor juga memiliki saham terhadap IUP agar ada jaminan supply ore nikel.

Dalam hal ini Investor menanggung biaya pembangunan Smelter 100%. Smelter dan IUP menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Pemilik IUP tidak mengeluarkan dana satu rupiah pun untuk bangun smelter.

“Kalau hal ini terjadi di PT. Vale maka mereka hanya menggadaikan tanah air kita untuk memiliki smelter. Malang betul nasib warga Sulsel kalau hal ini terjadi. Kalau ini betul, hanya satu kata: “Tolak Peroanjangan Kontrak PT. Vale” dan sebaiknya lahan nikel PT. Vale diserahkan ke perusahaan Daerah Kabupaten dan Provinsi kemudian perusahaan daerah yang kerjasama dengan investor agar masyarakat Sulawesi yang menikmati, bukan orang asing tanpa modal”, ujarnya.

Semua syarat di atas menjadi sangat penting untuk dipenuhi karena ini menyangkut hak masyarakat daerah yang selama 54 tahun keberadaan PT. Vale terus terabaikan.

“Harus ada perubahan untuk semua itu. Karena ke depan masyarakat yang merasa terabaikan di Sulawesi akan semakin sadar dan paham akan apa yang terjadi dan itu bisa memicu konflik sosial di daerah yang tidak kita harapkan bersama”, pungkasnya. (AS/*)

0 Comments