Benar! Dia Guru Bangsa

Foto: Cak Nur (PNG/Google)

UJARAN.OPINI – Ucapan syukur sebagai bentuk kesadaran, manifestasi keleburan, dan keakuan diri atas AKU yang sesungguhnya. Walaupun tidak begitu sempurna seperti tulisan analis-analis lainnya. Pada prinsipnya, untuk memposisikan diri sebagai anak ideologis Cak Nur maka tulisan ini dianggap perlu untuk diperjuangkan.

Nurcholish Madjid atau Cak Nur begitu sapaan akrabnya, merupakan sosok ilmuwan yang banyak dikagumi kalangan aktivis Islam, termasuk mahasiswa seperti saya yang baru saja lahir, dan mungkin premature.

Saya kemudian membaca Cak Nur sebagai penarik gerbong pembaruan pemikiran Islam Indonesia, penggerak sekaligus “frontier” pemikiran Islam yang melahirkan studi modernisasi dalam Islam.

Ide pembaruan Cak Nur menyasar pada lahirnya gagasan politiknya tentang sekularisasi dan Islam ‘Yes’ partai Islam ‘No’, ketidaksetujuannya tentang adanya negara Islam merupakan kritikannya terhadap ide-ide perjuangan generasi Masyumi, yakni partai Islam dan negara Islam.

Cak Nur kecewa dengan partai-partai Islam yang dianggapnya strukturalis, legalistik dan formalistik sehingga Cak Nur mendeklarasikan pada perjuangan kulturasi nilai-nilai keislaman dalam sosio-kultural masyarakat, bukan ke wilayah “Partai Islam. Seperti cita-cita mulia Cak Nur tentang Indonesia digagas dalam 10 Platform dalam bukunya Indonesia Kita.

Semakin jauh lagi Cak Nur adalah pelopor pembaruan politik karena ide-idenya seperti pentingnya oposisi Loyal, Civil Society, Demokrasi, Pancasila sebagai Common Platform Bangsa, Pluralisme, dan Hak Asasi Manusia, dan gagasannya tentang keindonesiaan, keislaman dan kemodernan, adalah sesuatu yang lazim digunakan pada zamannya.

Dalam peran kebangsaan Cak Nur memang banyak terlibat dalam politik praktis, misalnya dalam kurun waktu 1950-an dia turut aktif dalam kampanye partai politik dan pernah juga Cak Nur ingin mencoba menjadi orang nomor wahid di negeri ini.

Sementara, di lain sisi Cak Nur juga mengembangkan sikap intelektualnya dalam forum-forum kajian keagamaan, dan dialog keterbukaan, sambari dia ditunjang dengan banyaknya memproduksi buku-buku. Di bidang politik, ia menulis buku Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, ini adalah merupakan tekadnya sebagai guru bangsa yang ingin melihat Indonesia menjadi negara muslim yang mampu bersaing dengan negara lain.

Paling tidak pemikiran Cak Nur relevan dengan kondisi Indonesia baik pada masa lalu maupun masa kini, terutama ketika etika politik kurang mendapat perhatian daripada perilaku politik.

Dalam pembaruan teologi politik di kalangan umat Islam, Cak Nur memandang bahwa kita harus membendung aspirasi negara Islam oleh para pemimpin politik Islam, dengan cara pandang sekularisasi dalam beragama menuju pembaruan Islam.

Cak Nur berusaha memadukan antara Islam dengan kemodernan dan keindonesiaan. Bahkan dengan mantap Cak Nur merubah kata “sekularisasi” pada partai Islam yang waktu itu banyak dikecam, kemudian menggantinya dengan kata “desakralisasi”.

Dengan kondisi seperti itulah, maka bisa dikatakan antara cita-cita politik Indonesia dan cita-cita politik Islam Cak Nur, sangat berhubungan erat. Pemikiran Cak Nur, tentang politik Islam mencakup semua ajaran Islam dan kehidupan manusia serta dengan berbagai pendekatan, diantaranya filosofis, historis, sosiologis, dan sebagainya.

Bagi Cak Nur dalam posisi politik Islam keindonesiaan, Indonesia harus berpacu pada ‘Piagam Madinah’ yang disebut sebagai noktah-noktah kesepakatan antar berbagai golongan untuk mewujudkan kesatuan politik bersama. Cak Nur menyamakan Piagam Madinah dengan Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia, yang mengandung makna pluralisme yang nasionalisme.

Pluralisme penting mengingat bangsa Indonesia memiliki beragam suku, agama yang tidak tunggal dan etnis yang berbeda, sehingga pluralism dalam hal ini memberikan makna sebagai ikatan politik bersama untuk menciptakan stabilitas politik Indonesia. Namun, Cak Nur menemukan fakta lain, Islam yang dihadirkan kelompok-kelompok Islamisme ini ternyata bukanlah Islam substantif sebagaimana yang ia suarakan.

Islam mereka berhenti pada simbol dan atribut. Islam lalu menjadi panggung pertunjukkan melakukan umrah dan haji, lengkap dengan fasilitas istimewa sesuai kelas sosial mereka, menyelenggarakan pengajian di rumah dan kantor-kantor; membangun mushalla mewah berpenyejuk dan banyak lagi yang mewah itu.

Sementara, dalam kehidupan sehari-hari sebagai birokrat, konglomerat atau aktivis partai, banyak di antara mereka justru mengkhianati cita cita Islam, mesin birokrasi dan bisnis dijalankan dengan KKN. Maka, menurut Cak Nur, sistem politik yang sebaiknya diterapkan di Indonesia ini adalah sistem yang tidak hanya baik untuk umat Islam, tetapi yang sekiranya juga akan membawa kebaikan untuk semua anggota masyarakat Indonesia.

Di antara pemikiran Cak Nur yang sangat relevan dengan kehidupan politik masa kini (era reformasi) adalah ide-idenya tentang keadilan, demokrasi, egalitarianism, keterbukaan/kebebasan, pluralism dan toleransi, dan masyarakat madani. Tentang cita-cita politik Islam, pada intinya adalah terciptanya masyarakat madani (civil society) yang disebut oleh Robert N. Bellah, dengan prinsip “nasionalisme-partisipatif-egaliter”.

Bahwa civil society melakukan transformasi kritik yang seimbang antara masyarakat dan pemerintah, jika pemimpin melakukan kesalahan maka tugas masyarakat yang menegurnya, dan pemerintah harusnya selalu melibatkan rakyat dalam urusan pengambilan kebijakan.

Penegasan atas prinsip persamaan manusia (egaliterianisme), dan keadilan sosial, di mana terdapat kewajiban yang pasti atas kelompok yang kuat untuk kelompok yang lemah yang harus diwujudkan oleh pimpinan masyarakat.

Selain itu civil society, merupakan kewenangan kekuasaan yang diperolehnya menuntut ketaatan rakyat, bukan karena pertimbangan partikularistik pribadi pimpinan, tetapi karena nilai universal prinsip-prinsip yang dianut dan dilaksanakannya. Istilah itulah yang diambil Cak Nur dalam pidatonya khalifah Abu Bakar yang disebutnya sebagai “kekuasaan konstitusional”

Gagasannya mengenai civil society (masyarakat madani) yang kemudian melahirkan Gerakan Masyarakat Madani (Gema Madani) dan berlanjut pada gerakan reformasi yakni perubahan sosial, perubahan politik, dan moral force.

Dalam cita-cita Islamnya di era reformasi, Cak Nur menyampaikan tentang ide dialog keterbukaan, gagasan dalam membangun Indonesia harus dilakukan secara terbuka dialog yang sehat dalam menemukan solusi. Cak Nur menyampaikan bahwa tantangan terbesar ke depan adalah kedaulatan ekonomi.

Kedaulatan politik tidak mempunyai nilai yang bermakna tanpa kedaulatan bidang-bidang lain, khususnya di bidang ekonomi. Sesungguhnya kedaulatan ekonomi inilah yang diharapkan lahir dari adanya keadilan sosial (NDP Bab 6: Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi).

Nurcholish mengatakan untuk menancapkan visi dan cita-cita ekonomi Islam yaitu dengan mengajarkan bahwa setiap orang diminta sesuai kemampuannya, agar mampu mandiri, bebas dan merdeka menentukan usaha-usaha apa yang dijalaninya. Dengan yang mengandalkan kemampuan tersebut, maka ekonomi Islam akan tercipta.

Ide pembaruan politik Cak Nur berawal dari tahun 1993, yang melahirkan tentang ide oposisi loyal yang direfleksikan kepada keseimbangan politik, lalu pandangannya mengenai pancasila sebagai ideologi terbuka adalah kritikannya tentang kebijakan rezim yang memberlakukan pancasila sebagai asas tunggal, yang menurutnya pancasila harus dibaca sebagai ideologi modern yang sifatnya open minded.

Cak Nur menganggap, Pancasila bisa menjadi ideologi modern kalau diperlakukan dan dipahami sebagai ideologi terbuka. Menurutnya pancasila tidak harus dirumuskan secara detail sekali untuk selamanya (once and for all), sebab itu akan menyebabkan Ideologi ketinggalan zaman.

Pancasila dimasukkan dalam landasan failasufis bersama (common philosophical ground), sebuah masyarakat plural yang modern yaitu masyarakat Indonesia. Sebuah bangsa harus punya landasan, dan landasan itu adalah kumpulan nilai-nilai, sebuah gagasan besar bagaimana sebuah bangsa terbentuk, tujuan-tujuan idealisme-nya dalam bermasyarakat, dan bagaimana manusia di dalamnya melihat lingkungan, penafsiran nilai-nilai ini adalah ‘Pengalaman dari Bangsa itu sendiri.

Menurut Nurcholish Madjid, Pancasila merupakan kalimat-un sawa, yakni landasan bernegara yang memiliki titik temu atau perjumpaan dengan agama-agama yang hidup di Indonesia. Untuk menguatkan argumentasi ini, Nurcholish Madjid mengeksplorasi historisitas sejarah Islam dengan mengumpamakan Pancasila dengan Piagam Madinah (Shahifat al-Madinah), sebuah piagam yang dilakukan Nabi Muhammad untuk menaungi masyarakat plural yang memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk masing-masing golongan yang hidup di Madinah pada masa itu. Sebagai konsekuensi dari penerimaan umat Islam terhadap Pancasila ini, umat Islam pun harus toleran terhadap agama-agama lain, terutama agama yang hidup di Indonesia.

Ajakan kepada kalimat un-sawa untuk membenamkan klaim-klaim eksklusivistik kaum ahli kitab bahwa merekalah sebagai satu-satunya pihak yang bakal selamat atau masuk surga, seperti ditemui dalam Qs. Al-Baqarah (2):113. Nurcholish Madjid menilai Pancasila tidak bertentangan dengan Islam melainkan bahwa mencerminkan anjuran dan prinsip-prinsip dalam al-Qur’an.

Pancasila sering diistilahkan commom platform (kalimat-un sawa’) semua agama telah mempunyai hak dan status yang sama. Sila Pancasila memuat nilai dasar tentang kerangka umum dalam hidup kebersamaan, sehingga wajib dipahami dan diikuti bersama. Umat Islam telah menanggapi secara positif keberadaan Pancasila, karena dari berbagai ayat Al-Qur’an sama sekali tidak bertentangan, bahkan mendukung kehadiran falsafah ini.

Oleh karenanya, dengan sangat liberal Nurcholish Madjid mempertegas Pancasila dapat dipandang sepenuhnya sebagai “titik temu” antar umat yang berbeda-beda, hal itu merupakan perintah agama. Pancasila dapat juga dikatakan sebuah ideologi modern.

Penulis: Pensa, Kader HMI Komisariat Syariah dan Hukum Cabang Gowa Raya.

0 Comments