OPINI: Revisi UU ITE, Untuk Kepentingan Siapa?

Foto: Revisi UU ITE (ilustrasi).

UJARAN.OPINI – UU ITE kini dikaji ulang setelah mendapat desakan dari berbagai kalangan, karena banyak pasal-pasal karet yang multitafsir. Bahkan menurut Ketua Bidang Hukum dan HAM Pengurus Pusat Muhammadiyah, Busro Muqoddas, UU ITE menjadi salah satu indikator pemerintah saat ini bergerak ke arah neo otoritarianisme.

Dilansir dari kompas.com (20/02/21) Busro Muqoddas menyatakan bahwa setidaknya ada tiga indikator neo otoritarianisme. Pertama, masifnya buzzer atau pendengung di media sosial, orang yang kritis lalu diserang oleh buzzer dengan berbagai cara. Indikator kedua, adanya teror-teror dengan meretas alat komunikasi, termasuk teror kepada aktivis kampus. Indikator ketiga, terdapat UU ITE yang dinilai seolah-olah melegalkan perbuatan para buzzer, sebagai pelembagaan buzzer dimana buzzer dilegalkan melalui UU ITE dan sudah banyak menelan korban.

Revisi UU ITE sebetulnya bukan pertama kali ini saja bergulir. Pada tahun 2016, DPR telah merevisi UU No. 19 tahun 2016 sebagai perubahan UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE. Akan tetapi, revisi saat itu tidak serta merta mencabut pasal-pasal dalam UU ITE yang dianggap sebagai pasal karet. Pasal yang dianggap bermasalah antara lain pasal 27 ayat 1 soal kesusilaan, pasal 27 ayat 3 soal penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dan pasal 28 ayat 2 soal ujaran kebencian ( kompas.com, 17/02/21).

UU ITE Bungkam Sikap Kritis

Dikutip dari bbc.com (17/02/21) dalam kurun waktu 2016-2020, UU ITE dengan pasal karetnya telah menimbulkan tingkat penghukuman atau conviction rate mencapai 96,8% (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan sangat tinggi, mencapai 88% (676 perkara) menurut data yang dihimpun koalisi masyarakat sipil. Laporan perkumpulan pembela kebebasan berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet) menyimpulkan bahwa yang paling banyak dikriminalisasi adalah para jurnalis, aktivis dan warga kritis dengan menggunakan pasal-pasal karet yang cenderung multitafsir dengan tujuan membungkam suara-suara kritis.

Hal seperti ini biasa terjadi dalam sistem demokrasi, sistem ini mengklaim memberikan janji jaminan kebebasan akan tetapi pada praktiknya justru menimbulkan kontradiksi, kelemahan sistem demokrasi ini berawal dari asas sekulerisme, sebuah paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Asas ini menjadikan kedaulatan hukum berada di tangan manusia. Hukum-hukum yang dihasilkan dari sistem ini sebenarnya akan disesuaikan untuk menjaga kepentingan pihak tertentu. Chusnul Mariyah ketua Center for Election and Political Party mengatakan saat pihak pejabat yang melanggar tidak diberi sanksi tapi bisa sebaliknya selain dari pejabat. Rakyat mengeluarkan pendapatnya sebagai upaya check and balance justru diposisikan sebagai oposisi yang dinilai pengganggu.

Sebagaimana pasal-pasal karet yang terdapat dalam UU ITE, pasal tersebut sering digunakan untuk membungkam suara-suara kritis dari pihak yang menentang kebijakan pemerintah. Pasalnya, pencemaran nama baik, penghinaan, ujaran kebencian dan kritik sering kali beririsan satu sama lain dan ditafsirkan secara berbeda-beda. Sehingga kehadiran UU ITE menguntungkan pihak tertentu, seperti pemerintah, pengusaha dan pejabat negara. Ibarat sekali dayung dua, tiga pulau terlampaui, sekali terjerat UU ITE, kritik dapat dibungkam, suara oposisi berkurang, dan kebijakan melenggang tanpa hambatan. Kritik terhadap pemerintah kerap kali ditafsirkan sebagai ujaran kebencian, penghinaan, atau pencemaran nama baik. Rakyat semakin takut mengkritik, mereka sudah tidak leluasa mengeluarkan pendapatnya, ruang kritik semakin sempit, UU ITE dijadikan senjata andalan membungkam lawan politik.

Daulah Islam, Terbuka dengan Kritik

Dalam sistem kapitalis hari ini suara rakyat dibungkam dengan berbagai aturan yang dibuat untuk kepentingan para pemangku kekuasaan. Jauh berbeda dengan sistem Islam, dalam sepak terjang peradaban manusia di muka bumi ini hanya sistem pemerintahan Islam yang mampu merealisasikan upaya check and balance dari rakyat kepada penguasa. Daulah Islam memberikan ruang kepada rakyatnya, baik ormas, parpol Islam, Ulama, ataupun rakyat biasa untuk melakukan koreksi atau muhasabah.

Hal ini tergambar apik dalam buku The Great Leader Umar bin Al- Khathab karya Dr. Muhammad As-Shalabi, beliau menceritakan bahwa pada masa Khalifah Umar pernah terjadi pengaduan rakyat mesir kepada dirinya atas sikap dan perbuatan gubernurnya, Amr bin al-Ash ra. yang memberikan hudud tidak sesuai kepada Abdullah bin Umar putra Khalifah Umar beserta temannya yang secara tidak sadar telah meminum minuman khamr. Amr bin Ash menggunduli Abdullah bukan di depan umum, melainkan di dalam rumahnya. Padahal hukuman yang seharusnya diberikan adalah dicambuk dan digunduli di depan publik. Umar yang mendapat laporan seperti ini dari rakyatnya tak segan-segan memarahi Amr dan menyuruh Abdullah dihukum kembali dan disaksikan publik.

Islam menjadikan aktivitas mengkritik sebagai sebuah kewajiban yang dikenal dengan konsep muhasabah lil hukkam. Perspektif seperti ini tidak akan ditemukan dalam sistem perpolitikam manapun, bahkan Islam menempatkan aktivitas muhasabah lil hukkam berada pada derajat yang sangat tinggi, karena yang memimpin suatu negara bukanlah malaikat, tetapi manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan, sehingga adanya kritik sangat dibutuhkan.

Dalam hadits disebutkan Sebaik-baik jihad adalah menyampaikan kata-kata yang hak di depan penguasa yang jair/dzhalim (kejam).

Dalam Daulah Islam, muhasabah kepada penguasa dapat dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya bisa dilakukan secara individual oleh setiap muslim, di antaranya bahkan datang dari sekelompok wanita yang memprotes kebijakan Umar dalam membatasi jumlah mahar maksimal 400 dirham, Umar menerima kritik itu seraya mengatakan wanita itu benar, Umar salah. Kedua, kritik juga bisa dilakukan melalui wakil rakyat (majelis al-ummah) yang dipilih langsung oleh rakyat. Anggota majelis ummah berhak secara langsung mengkritik khalifah berkaitan dengan keputusan atau kebijakannya yang dinilai tidak tepat dan merugikan rakyat. Ketiga, rakyat yang tidak puas terhadap kebijakan khalifah bisa mengadukannya ke mahkamah madzhalim, yakni sebuah pengadilan yang memutuskan perselisihan antara rakyat dan penguasa, tentu saja penguasa harus tunduk kepada keputusan mahkamah ini. Dengan demikian suasana yang terbentuk dalam Daulah Islam adalah suasana amar maruf nahi mungkar.

Masyarakatnya melakukan muhasabah kepada penguasa mereka karena dorongan keimanan, sistem Islam sangat terbuka dengan kritik dan aduan dari rakyatnya, sistem Islam tidak antikritik, siapapun bebas memberikan kritik dan aduan. Dari segi teori dan praktik, sistem Khilafah benar-benar menjalankan pemerintahan yang terbuka dengan kritik. Itulah mengapa sejarah penerapan Islam dipenuhi dengan berbagai sikap masyarakat yang selalu kritis terhadap kekuasaan karena hal itu merupakan bagian dari kewajiban, sesungguhnya Islam telah memberi garis yang lurus bagi kehidupan manusia dan membawa keberkahan ketika diterapkan.

Penulis: Irnawati (Mahasiswa).

Tulisan sepenuhnya tanggung jawab penulis

0 Comments