UJARAN.CO.ID, Maluku – Upaya penguatan penanganan bencana daerah di Provinsi Maluku kini memasuki babak baru. Anggota DPRD Maluku dari Fraksi PDI Perjuangan, Alhidayat Wadjo, mendorong agar kearifan lokal dan sistem adat Maluku diintegrasikan dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Penanganan Bencana Daerah.
Dalam forum diskusi pembahasan Ranperda yang berlangsung baru-baru ini, Alhidayat menilai substansi teknis dalam draf regulasi masih terlalu normatif dan belum menyentuh akar budaya masyarakat Maluku secara menyeluruh. “Kalau kita lihat di Bali, sistem pemerintahannya itu sangat lengkap dan terintegrasi dengan adat istiadat,” ujarnya.
Ia menyebut bahwa pemerintahan Bali telah berhasil memformalkan struktur adat dalam regulasi daerah, termasuk dalam aspek sosial dan kebencanaan. Bahkan, menurutnya, Perda di Bali sudah mengatur hingga penggunaan baju adat, struktur desa adat, dan tata kelola berbasis komunitas lokal. “Itu luar biasa,” ujarnya.
Sebagai provinsi kepulauan dengan ragam budaya dan struktur adat yang masih hidup, Alhidayat menilai Maluku memiliki potensi besar untuk menerapkan pendekatan serupa. “Maluku seharusnya bisa merumuskan Perda yang tidak hanya bersifat teknokratis, tapi juga menyatu dengan nilai-nilai lokal,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa saat ini belum ada payung hukum daerah yang secara eksplisit mengatur integrasi adat dalam sistem penanggulangan bencana. Padahal, menurutnya, jika sistem birokrasi dipadukan dengan nilai-nilai lokal seperti pela-gandong, efektivitas penanganan bencana bisa meningkat drastis. “Masyarakat lokal tahu cara bertahan dan saling bantu,” ujarnya.
Lebih jauh, ia menekankan bahwa nilai-nilai seperti gotong royong, solidaritas adat, dan struktur sosial tradisional Maluku dapat menjadi fondasi kuat dalam sistem mitigasi bencana. “Semangat gotong royong dan nilai-nilai adat di Maluku adalah kekuatan besar yang belum diberdayakan secara maksimal,” ujarnya.
Alhidayat juga menyayangkan jika pendekatan kebijakan hanya bertumpu pada koordinasi birokratis tanpa mempertimbangkan aspek sosial-budaya masyarakat. Ia menekankan pentingnya kemauan politik untuk menggagas regulasi yang lebih adaptif dan kontekstual terhadap realitas lokal. “Jangan hanya bicara prosedur dan koordinasi birokrasi,” ujarnya.
Sebagai solusi, ia mengusulkan agar pembuat kebijakan belajar dari pengalaman provinsi lain, khususnya Bali, dalam mengintegrasikan adat ke dalam sistem pemerintahan daerah. “Kita punya dusun adat, negeri adat, pela-gandong, semua itu bisa menjadi bagian dari sistem penanggulangan bencana,” ujarnya.
Dorongan ini sejalan dengan prinsip pengurangan risiko bencana berbasis komunitas yang kini menjadi tren global. Dengan regulasi yang berpihak pada masyarakat adat, respons kebencanaan di Maluku diharapkan lebih cepat, tepat, dan diterima oleh masyarakat.
Alhidayat mengakhiri pernyataannya dengan harapan besar agar Ranperda Penanganan Bencana Daerah Maluku tidak hanya menjadi produk hukum administratif, tetapi benar-benar mencerminkan jati diri budaya Maluku. “Tinggal kemauan politik dan visi pembuat kebijakan,” ujarnya.
0 Comments