![]() |
Dalam siniar Good Talk yang dirilis kanal YouTube Good News from Indonesia, Stella Christia menyebut bahwa skripsi kerap diwajibkan harus setebal 100 halaman, namun tak menjamin mutu dan dampaknya. |
UJARAN.CO.ID – Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Wamendiktisaintek) Stella Christiamelontarkan kritik tajam terhadap sistem penulisan skripsi di perguruan tinggi Indonesia. Menurutnya, sistem tersebut terlalu menekankan aspek prosedural ketimbang substansi dan hasil penelitian.
Dalam siniar Good Talk yang dirilis kanal YouTube Good News from Indonesia, Stella Christia menyebut bahwa skripsi kerap diwajibkan harus setebal 100 halaman, namun tak menjamin mutu dan dampaknya. Ia membandingkan hal tersebut dengan jurnal ilmiah internasional yang lebih ringkas namun berkualitas tinggi. “Prosedural itu enggak ada gunanya, yang penting hasil dan dampaknya,” ujarnya.
Stella memberikan contoh konkret bagaimana karya monumental seperti General Theory of Relativity hanya beberapa halaman namun mengubah dunia. “Papernya Einstein itu hanya beberapa halaman, tapi mengubah dunia. Kalau dia kuliah di Indonesia, harus 100 halaman, mungkin tidak ada yang baca itu General Theory of Relativity,” ujarnya.
Ia juga menyinggung bahwa jurnal-jurnal bereputasi tinggi seperti Nature dan Science justru menetapkan batasan halaman yang sangat ketat. “Di jurnal-jurnal paling top seperti Nature, Science, itu cuma boleh satu halaman kalau publikasi,” ujarnya.
Tak hanya soal skripsi, Stella menyoroti perlunya ekosistem riset dan teknologi yang lebih efisien di Indonesia. Ia menyebutkan bahwa birokrasi dan beban administratif kerap menghambat produktivitas peneliti di universitas. “Sementara ini kita belum mempunyai ekosistem yang optimal bagi sumber daya manusia kita untuk melakukan penelitian,” ujarnya.
Wamendiktisaintek juga menekankan pentingnya insentif bagi akademisi agar dapat fokus pada riset dan pengembangan ilmu pengetahuan. “Banyak peneliti yang hebat, tetapi terbebani oleh administrasi yang berlebihan,” ujarnya.
Ia menyoroti bahwa pendanaan penelitian tidak bisa hanya bergantung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Oleh karena itu, perlu strategi melibatkan pihak swasta dan industri dalam mendukung riset. “Setiap APBN itu pasti terbatas, kita harus melibatkan swasta dan industri,” ujarnya.
Namun, Stella mengakui bahwa masih ada kendala dalam kolaborasi antara kampus dan dunia usaha, salah satunya adalah birokrasi yang rumit dan kurangnya pemetaan mitra potensial. “Kita harus menjadi penghubung antara akademisi dan industri agar riset bisa terserap langsung ke dunia nyata,” ujarnya.
Ia mencontohkan berbagai persoalan seperti kemacetan, banjir, dan polusi di Jakarta bisa diatasi dengan solusi berbasis riset. Menurutnya, akademisi harus menjadi problem solver dengan pendekatan sains dan teknologi. “Akademisi harus hadir sebagai penyedia solusi untuk masalah masyarakat dan pemerintah,” ujarnya.
Stella menegaskan bahwa keberhasilan suatu program pendidikan dan riset harus diukur dari hasil, bukan hanya prosedur. Ia menekankan pentingnya indikator keberhasilan yang jelas. “Kalau pemerintah mengalokasikan dana, harus ada ukuran jelas apakah program itu berhasil atau tidak,” ujarnya.
Di akhir pernyataannya, Stella mengajak seluruh kampus untuk melakukan reformasi kebijakan akademik yang lebih fleksibel dan relevan. “Syarat prosedural mungkin diperlukan di awal, tapi yang penting adalah bagaimana kita mengukur hasil akhirnya,” pungkasnya.
0 Comments