Otentisitas Panggilan Primordial Manusia

Foto: A. Wahyu Pratama Hasbi (penulis)

UJARAN.OPINI – Manusia menemukan diri di dalam tindakan humanisnya. Humanisme itu sendiri mendeskripsikan kemanusiaan dari manusia, cara manusia menemukan dan memahami eksistensi diri pada tindakan di dalam realitas hidupnya.

Humanisme berarti menjadikan atau menempatkan manusia sebagai pusat dari segala sesuatu. Di sini manusia sebagai dewa yang diagungkan atau disembah dan dikultuskan. Dengan demikian, manusia muncul sebagai konsep kultis tentang dirinya sebagai manusia itu sendiri.

Humanisme juga sebagai filsafat yang mengkultuskan manusia sebagai tindakan rasionalitas dan mendukung maksimalisasi kemampuan atau rasionalnya itu.

Kemampuan manusia diakui dengan keunggulan-keunggulan yang dimiliki dan dihidupi dalam realitas hidupnya. Maka, dengan kehadiran manusia menjadikan segala sesuatu menjadi berarti dan di dalamnya manusia menemukan eksistensi dirinya.

Dengan menyadari akan kemanusiaannya mendorong manusia secara bebas dan terbuka untuk mendukung segala nilai dalam hidup yang akan menyejahterakan hidupnya, baik yang bergerak dalam rana politik, agama, budaya, atau pun sosialitas secara umum.

Tindakan humanisme merupakan suatu cara pandang untuk mencapai satu-satunya tujuan manusia yakni eudaimonia (kebahagiaan) yang merupakan kerinduan terdalam dari manusia dalam berziarah di dunia ini. Semua itu hanya terealisasi dalam tindakan realistis manusia yang di dalamnya mengandung nilai normatif dengan orientasi pada kebijaksanaan.

Humanitas bukan hanya konsep moral tentang baik buruknya manusia dan fenomenologis tentang penampilan dalam hidup konkrit belaka. Tetapi humanitas itu juga sebagai konsep pemikiran ontologis tentang manusia khususnya dalam kaitan dengan eksistensi yang sesuai dengan esensinya sebagai manusia.

Humanitas menggambarkan situasi dan kondisi manusia di mana ia hidup sebagai manusia sejati dan sebagai keadaan ideal di mana manusia diperlakukan dan memperlakukan dalam keberadaannya sebagai manusia.

Plato dan Aristoteles menegaskan bahwa manusia bukan dewa yang patut disembah dan bukan setan yang perlu ditakuti. Namun, manusia adalah ketegangan dalam rentang dan di antara gravitasi kebaikan dan kejahatan. Di sini mengungkapkan atau merealisasikan realitas kebaikan dan kejahatan yang memang terikat dengan kehidupan manusia itu sendiri.

Kehidupan manusia itu dinamis. Hal ini mau menunjukkan bahwa manusia itu juga adalah dinamis karena manusia berada dan menjadi pemain dalam rana kehidupan itu sendiri.

Dalam kedinamisan manusia inilah yang membuat manusia itu terus mencari makna dari hidup sebagaimana yang dikatakan oleh Alasdair Maclntyre, seorang filsuf Skotlandia, bahwa hidup itu merupakan suatu pencarian terus-menerus.

Kedinamisan hidup manusia ini juga didukung dengan pernyataan puitis dari Charles Taylor, salah seorang yang pernah menjadi pemimpin Liberia, yang mengatakan bahwa hidup itu suatu narasi yang terbentang dari masa lalu dan kini demi tujuan menuju kebaikan.

Manusia hanya akan menikmati kebaikan sejati apabila ia mencebur diri dalam tindakan humanitasnya karena humanitas adalah kemanusiaannya manusia.

Humanitas menjadi pra-syarat dalam otentisitas manusia. Dengan demikian manusia menjadi manusia ontologis. Unsur ontologis inilah yang menjadi kodrat manusia yang perlu dibuktikan sehingga manusia mencapai kemanusiaannya.

Manusia secara ontologis juga adalah makhluk berbahasa. Dalam dirinya sebagai makhluk berbahasa ini manusia mengungkapkan hakekat dirinya yang bisa menginterpretasi diri menuju pada tingkat pemaknaan diri yang sebenarnya. Maka, esensi manusia dapat diketahui dari bahasanya karena bahasa manusia itu bersifat ekspresif dan konstitutif.

Bahasa manusia itu selalu berubah atau dinamis. Rahasia kodrat manusia terbukti dalam keberbahasaannya yang dinamis ini. Di sinilah manusia terus diberi kemampuan berinterpretasikan segala sesuatu, bahkan Tuhan yang diagungkanpun diinterpretasikan.

Eksistensi manusia sebagai makhluk berbahasa hanya diakui apabila memiliki unsur ontologis sebagai makhluk dialogis di dalam sosialitasnya.

Dalam konsep sosial manusia ini Aristoteles menegaskan bahwa seorang manusia tidak bisa hidup sendiri tetapi ia membutuhkan manusia lain untuk hidup bersosialitas. Karena itu bahasa manusia bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi untuk komunitas. Maka perlu hati dalam menggunakannya agar menimbulkan nilai normatif yang bisa memanusiakan manusia lain di dalam kehidupan.

Di sini diakui bahwa pada dasarnya humanitas menekankan solidaritas sosial. Manusia hanya mengalami diri sebagai manusia bila ia berada dalam kehidupan sosialitas, bukan dalam individualitas. Di dalam sosialitas inilah manusia mengalami diri dalam otentisitas manusianya.

Manusia juga sebgai makhluk yang bertujuan. Dengan mengalami otentisitasnya, manusia semakin sadar akan hidup dan tujuan sejatinya. Tujuan ini menentukan cara yakni bagaimana manusia bertindak agar hidup menjadi berarti dan pantas dihidupi sebab kualitas manusia itu ditentukan sesuai dengan tujuannya yang bersifat konstitutif.

Hidup manusia itu juga bagaikan kesatuan narasi yakni narasi yang terbentang kini dan masa depan yang akan dibuktikan atau direalisasikan demi mencapai tujuan sejati.

Hal ini didukung oleh pandangan Levinas, seorang filsuf etika, bahwa dalam usahanya untuk mencapai tujuan itu maka manusia perlu menghidupi etika tanggung jawab yang merupakan satu-satunya moralis yang bisa mengarahkan hidup manusia pada kehidupan yang sejati.

Kunci etika manusia itu terlihat pada pemberian dirinya untuk orang lain (sosialitas) di dalam kehidupannya. Realisasi kebaikan itulah yang menjadi otentisitas diri yang mana otentisitas itu menjadi panggilan primodial manusia.

Dengan demikian, kemanusiaan itu dapat diungkapkan dalam tindakan dialogis yang mengantar manusia pada otentisitas diri atau menjadikan manusia itu menjadi lebih manusia di dalam hidupnya. Singkatnya, manusia wajib menjaga ritme, merawat kharisma apapun, kapanpun juga dimanapun itu.

Penulis: A. Wahyu Pratama Hasbi, merupakan mahasiswa semester VI Hukum Tatanegara UIN Alauddin Makassar

0 Comments