Indonesia Dilema Minol?

Perpres ini mengatur pembukaan investasi baru industri miras yang mengandung alkohol

UJARAN.OPINI – Setelah kurang lebih setahun badan legislasi DPR-RI membahas RUU tentang larangan minol (Minuman beralkohol). Kini, Polemik tentang Perpres(Peraturan Presiden) Minol kembali bergulir di tengah masyarakat.
Karena menuai kontroversi di tengah masyarakat, akhirnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Selasa (2/3/2021) mencabut lampiran Perpres 10/2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.

Perpres ini mengatur pembukaan investasi baru industri miras yang mengandung alkohol (detikcom).

Keputusan pencabutan perpes diambil Presiden Joko Widodo setelah mempertimbangkan masukan sejumlah organisasi Muslim dan usul Wakil Presiden Ma’ruf Amin setelah melakukan pembicaraan empat mata.

“Kalau ini kan umat Islam lebih kepada peduli bahwa kita sucinya melarang itu [minuman beralkohol],” ujar juru bicara Wapres, Masduki Baidlowi saat menjelaskan mengenai usul pencabutan aturan itu.

Di sisi lain, Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Laiskodat mengatakan ia memahami keputusan presiden untuk membatalkan lampiran perpres itu.Namun, ia menyayangkan hilangnya potensi ekonomi yang lebih luas.

Ia berpendapat aturan itu semestinya bisa membuat lebih banyak orang ingin berinvestasi di sektor minuman beralkohol. Investasi itu bisa mendorong riset minuman beralkohol, sehingga bisa membuat produk dari Indonesia bersaing dengan negara lain. Dalam hal ini, dia menyayangkan ada sejumlah orang yang disebutnya memandang minuman beralkohol dengan sempit tanpa melihat keberagaman di Indonesia (bbc.com,3/3/2021)

Minol Bawa Untung bagi Negara, Ilusi pelarangan total

Masyarakat Indonesia harusnya tak berlega hati akan pencabutan aturan ini. Karena yang dicabut bukan Perpresnya, tetapi hanya lampirannya. Itu pun hanya lampiran Bidang Usaha No. 31 dan No. 32. Pasal 6 ayat 1 Perpres 10/2021 tetap berlaku. Ini artinya, peluang investasi miras masih memiliki payung hukum. Peluang untuk melegalkan investasi miras masih ada..

Meski korban jiwa banyak berjatuhan diakibatkan minuman beralkohol dan masyarakat berkoar koar akan keburukan minol ini, namun karena keuntungan yang sangat menggiurkan, melarang total peredarannya hanya pepesan kosong semata. Kita hidup dalam buaian kapitalisme, sistem ekonomi kapitalis yang berorientasi pada materi atau keuntungan (profit oriented), tanpa mempedulikan halal-haram.

Dengan kata lain, sistem kapitalis akan selalu membuka ruang bagi bisnis haram, termasuk minol. Maka Sangat keliru jika berharap besar dari kebijakan ini, kebijakan ini merupakan pertarungan antara pengusaha dengan pembuat kebijakan. Pengusaha pariwisata yang telah banyak meraup untung dari penjualan minol.

Maka akan sangat tidak masuk akal jika pelarangan Minol total dimuluskan begitu saja.
Para pengusaha minol tentu tak akan tinggal diam, akan meminta pemerintah agar tidak melarang minol secara total. Cukup awasi dan mengatur peredarannya saja, sebab investasi minol yang saat ini masih berjalan tidak mungkin disudahi.

Dapat dipastikan aturan saat ini tidak akan menutup pabrik-pabrik yang memproduksi minuman keras. Paling banter hanya mengatur distribusi dan konsumsi minol, artinya minol masih dapat dijumpai dan diperjualbelikan di negeri mayoritas Muslim ini. Perlu diketahui publik bahwa pemasukan negara dari cukai Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA) sangat besar Rp2,64 triliun pada tahun 2020.

Sementara untuk penerimaan Negara dari peredaran MMEA pada tahun 2014 sebesar 5,298 triliun, tahun 2015 sebesar Rp 4,556 triliun, tahun 2016 sebesar Rp5,304 triliun. setiap rupiah yang dihasilkan dari peredaran MMEA menjadi pemasukan Negara yang menguntungkan. (money.kompas.com, 13/11/2020)

Adanya pihak yang pro dan kontra seolah pemerintah mengambil sikap dengan menampung segala pendapat yang ada. Sehingga jalan tengah bagi “kemaslahatan bersama” agar Minol tak dilarang total tapi cukup diatur dan diawasi. Terlebih lagi Indonesia memang diarahkan pada pasar global, Indonesia berkepentingan memastikan ketersediaan minol demi menunjang pariwisata yang terus dipromosikan ke dunia.

Inilah gambaran sistem kapitalis-sekuler yang diterapkan di negeri ini, Prinsipnya, selama ada permintaan pasar, menguntungkan pengusaha dan ada pemasukan negara maka bisnis apapun termasuk yang merusak masyarakat akan difasilitasi. Hal ini menunjukkan pemerintah lebih mengacu pada kepentingan pebisnis atau kapitalis daripada kepentingan moralitas rakyatnya.

Sistem Islam solusi tuntas pelarangan Minol

Pengharaman khamr dan segala jenisnya adalah bagian dari kemuliaan syariah Islam yg memberikan perlindungan pada akal. Minol jelas menimbulkan kekacauan pada akal manusia.

Cikal bakal berbagai tindak kejahatan.
Bukan merupakan ciri orang beriman bila kemudian mencari-cari dalih untuk menghalalkannya. Misal,berdalih, jika dilarang, Minol akan mematikan perekonomian sebagian orang & juga merugikan negara. Islam begitu tegas membabat habis minol hingga ke akar-akarnya. Industri minol tidak akan diberi kesempatan untuk  berdiri dalam sistem islam, dan mustahil terjadi peredaran bebas atas barang barang haram.

Sebab Rasulullah Saw dengan keras melaknat dalam hal minol sepuluh pihak, pemerasnya, yang meminta diperaskan, peminumnya, pembawanya, yang minta dibawakan, penuangnya, penjualnya, pemakan harganya, pembelinya dan yang minta dibelikan.(HR at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Hadis di atas sekaligus juga menunjukkan bahwa kesepuluh pihak tersebut telah melakukan tindak kriminal dan layak dijatuhi sanksi sesuai ketentuan syariah.
Nabi Muhammad Saw pernah mencambuk peminum khamar dengan pelepah kurma dan terompah sebanyak empat puluh kali.” (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi dan Abu Dawud).

Maka sangat dipastikan hanya sistem Islam yang mampu membabat habis Minol hingga ke akar-akarnya, karena orientasi sistem Islam adalah untuk kemaslahatan masyarakat tanpa melabrak syariat Allah, bukan orientasi keuntungan materi semata. Wallahu a’lam.

Penulis: Wana Zain

0 Comments