UJARAN.CO.ID - Pemindahan mendadak Dr. Piprim Basarah Yanuarso SpA(K) dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) ke RS Fatmawati memicu polemik besar di kalangan tenaga medis. Dokter spesialis anak senior yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) ini dikenal sangat kritis terhadap kebijakan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (BGS).
Banyak pihak menyebut bahwa pemindahan tersebut bukan sekadar mutasi administratif biasa. Bahkan, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) melalui anggotanya, Dr. Iqbal Mochtar, secara terbuka menyebut bahwa langkah itu sarat dengan aroma politik. “Jadi BGS (Budi Gunadi Sadikin) ini dia membentuk kolegium tandingan. Jadi setelah puluhan tahun ada kolegium ini tiba-tiba dia membentuk kolegium versi Kementerian Kesehatan,” ujarnya.
Kolegium merupakan institusi yang selama ini bertugas menjaga mutu pendidikan dan kompetensi tenaga medis di Indonesia. Namun, menurut Iqbal, pembentukan kolegium versi Kemenkes dianggap tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan tidak melalui prosedur yang semestinya. “Itu dia pilih secara voting. Jadi online voting, dia (BGS) sebarkan nama-nama ini siapa yang ini ayo pilih, itu yang dipilih dari situ, siapa yang terbanyak. Makanya kita sebut sebagai Kolegium Idol,” ujarnya.
Pemindahan Dr. Piprim dianggap sebagai buntut dari sikap vokalnya terhadap kebijakan Menkes. Tidak hanya itu, Sekjen IDAI Dr. Hikari juga sebelumnya dimutasi usai menyampaikan kritik keras terhadap sistem baru yang diterapkan Kementerian Kesehatan. “Nah karena kondisi seperti ini banyak organisasi profesi berteriak. Dan salah satu yang paling keras teriakannya itu adalah dokter anak (IDAI),” ujarnya.
Iqbal mengungkapkan bahwa intimidasi terhadap pihak-pihak yang menyuarakan kritik semakin sering terjadi. Ia mencontohkan peristiwa yang dialami Dr. Rizky, seorang dokter anak yang memberikan testimoni mendukung keberadaan Dr. Piprim di RSCM. “Terus ada lagi satu orang dokter anak nanya, Dr Rizky dia memberikan testimoni bahwa Dr Piprim ini sangat dibutuhkan di RSCM, dua hari setelah memberikan testimoni dia dipecat dari RS Adam Malik,” ujarnya.
Kasus serupa juga terjadi pada Prof. Zainal Muttaqin, salah satu dari sedikit ahli bedah saraf epilepsi di Indonesia. Ia disebutkan diberhentikan dari posisinya di Universitas Diponegoro (UNDIP) setelah menyuarakan penolakan terhadap UU Kesehatan. “Dulu juga Prof Zainal Muttaqin ahli bedah saraf epilepsi di UNDIP, itu kan jarang sekali ahli bedah saraf. Waktu itu dia getol menyuarakan pendapatnya yang berbeda dengan UU Kesehatan diberhentikan. Jadi kan jelas banget kan?” ujarnya.
Menurut Iqbal, pola seperti ini menunjukkan adanya tekanan sistematis terhadap pihak-pihak yang berbeda pandangan dengan kebijakan pemerintah, khususnya di sektor kesehatan. “Jadi kalau ada orang yang menganggap ini sesuatu hal yang sifatnya normatif, menurut saya ini tidak normatif, ini ada intrik politik di belakangnya yang dimainkan untuk membungkam orang-orang tertentu yang berbeda pendapat,” ujarnya.
Kontroversi ini menjadi sorotan karena menyangkut kebebasan akademik dan profesionalisme di kalangan tenaga medis. Banyak kalangan menilai bahwa seharusnya kritik konstruktif dari para ahli justru dijadikan bahan evaluasi, bukan dibalas dengan mutasi atau pemberhentian.
Sampai saat ini, Kementerian Kesehatan belum memberikan penjelasan resmi terkait alasan pemindahan Dr. Piprim dan dugaan pembentukan kolegium tandingan. Sementara itu, suara penolakan dari berbagai organisasi profesi kedokteran semakin menguat, menuntut transparansi dan penghentian tindakan represif terhadap tenaga medis yang bersuara kritis.
Kasus ini diperkirakan akan terus menjadi perhatian publik, seiring meningkatnya tuntutan dari kalangan medis agar pemerintah menjaga independensi profesi dan tidak menjadikan kritik sebagai alasan pembungkaman.
0 Comments