![]() |
| Jermias |
Makassar, ujaran.co.id — Polemik sengketa lahan di Jalan Urip Sumoharjo, Makassar, kembali mencuat setelah munculnya dugaan keterlibatan aparat kepolisian, khususnya satuan Brimob, dalam pengamanan lahan seluas 23.569 meter persegi yang menjadi objek sengketa berdasarkan putusan Nomor 136/Pdt.Plw/2012/PN.Mks.
Kehadiran aparat bersenjata di lokasi tersebut dinilai tidak sesuai dengan prosedur hukum eksekusi lahan yang seharusnya melalui tahapan pengadilan. Menurut ahli hukum perdata Jermias, kehadiran aparat Brimob sebelum adanya penetapan eksekusi menimbulkan pertanyaan serius tentang netralitas aparat kepolisian.
“Dalam pelaksanaan eksekusi, kapasitas polisi, baik umum maupun Brimob, hanyalah sebatas pengamanan. Mereka baru dapat hadir setelah ada penjadwalan dan penetapan eksekusi oleh pengadilan. Tapi yang terjadi di lokasi itu berbeda, aparat justru hadir lebih dulu bersama pihak pemenang lelang, seolah-olah bertindak sebagai pengamanan. Hal tersebut menimbulkan ketakutan psikologis,” ungkap Jermias kepada wartawan, Rabu (12/11).
Prosedur Hukum yang Harusnya Ditempuh
Prosedur eksekusi lahan sengketa, jelas Jermias, dimulai dari pengajuan permohonan eksekusi ke pengadilan yang telah memiliki putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht), diikuti proses aanmaning (teguran) oleh Ketua Pengadilan Negeri. Jika teguran tidak diindahkan, barulah ditentukan jadwal eksekusi oleh juru sita yang didampingi polisi untuk pengamanan.
“Polisi tidak bisa bertindak atas inisiatif sendiri. Mereka hadir hanya berdasarkan penetapan pengadilan, bukan permintaan pihak tertentu,” tegasnya.
Hal ini sesuai dengan ketentuan Hukum Acara Perdata (HIR/RBg) dan prinsip-prinsip pengamanan yang diatur dalam Peraturan Kapolri (Perkap), di mana Polri hanya menjalankan fungsi pengamanan dengan cara humanis dan prosedural.
Dugaan Tindakan “By Order” dan Citra Kepolisian
Jermias menilai, tindakan aparat di lokasi tersebut menimbulkan kesan adanya tindakan “by order”atau berdasarkan perintah non-prosedural, bukan atas dasar penegakan hukum.
“Kalau polisi hadir tanpa dasar penetapan pengadilan, itu sama saja melangkahi kewenangan hukum. Polisi profesional dan modern seharusnya melindungi masyarakat, bukan memberi kesan berpihak pada pemenang lelang,” ujarnya.
Ia menambahkan, praktik serupa pernah terjadi di Jalan Gunung Merapi, Makassar, di mana aparat kepolisian hadir hanya setelah pengadilan menetapkan dan melaksanakan eksekusi secara paksa.
“Jadi kalau sekarang aparat datang duluan sebelum ada penetapan, itu bukan pengamanan, tapi bentuk tekanan. Kalau saya mau katakan, itu adalah tindakan yang tidak bijaksana — bahkan bisa disebut kebiadaban hukum,” tegas Jermias.
Seruan untuk Reformasi dan Netralitas Aparat
Lebih lanjut, Jermias menyerukan agar Kapolri dan jajaran pimpinan kepolisian menertibkan praktik-praktik aparat yang tidak sesuai dengan asas keadilan dan prosedur hukum.
“Harapan saya kepada Kapolri, hentikan cara-cara yang tidak sesuai dengan prosedur hukum. Penegakan hukum harus berdasarkan asas keadilan, bukan kekuatan,” tutupnya.
Catatan Redaksi:
Kasus ini menambah deretan pertanyaan publik terkait profesionalitas dan independensi aparat negara dalam penegakan hukum sipil. Di tengah wacana “Reformasi Kepolisian” yang kembali menguat, transparansi dan akuntabilitas menjadi kata kunci agar kehadiran aparat tidak berubah fungsi — Segala isi menjadi tanggungjawab narasumber.

0 Comments