UJARAN.CO.ID, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) telah menghapus ketentuan presidential threshold, yang membuka peluang wacana pembentukan undang-undang sapu jagat atau Omnibus Law soal politik. Hal ini disampaikan oleh Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, dalam keterangannya pada Jumat (3/1/2024).
Menurut Rifqi, putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024 menjadi momentum penting dalam perjalanan demokrasi konstitusional Indonesia. Di sisi lain, ia mengungkapkan bahwa keputusan ini dapat menjadi bahan penyusunan Omnibus Law Politik, mengingat DPR tengah mengusulkan rancangan undang-undang yang komprehensif terkait sistem politik.
“Putusan MK ini muncul di saat ada keinginan DPR untuk merancang Omnibus Law terkait politik. Maka jika model Omnibus Law dilakukan, poin putusan MK ini akan dimasukkan,” jelas Rifqi.
Putusan MK tersebut menghapus Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang sebelumnya mengatur ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. Pasal itu mensyaratkan pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik dengan perolehan minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional pada Pemilu DPR periode sebelumnya.
Dalam sidang yang digelar pada Kamis (2/1/2024), Ketua MK Suhartoyo menyatakan bahwa Pasal 222 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Suhartoyo saat membacakan putusan.
Rifqi menegaskan bahwa keputusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga DPR bersama pemerintah harus menindaklanjuti dengan pembentukan norma baru dalam undang-undang terkait pemilu. Salah satu opsi yang diusulkan adalah mengintegrasikan ketentuan tersebut ke dalam rancangan Omnibus Law Politik.
“Jika revisi dilakukan melalui model Omnibus Law, maka putusan ini akan dimasukkan untuk menyelaraskan aturan politik kita secara menyeluruh,” kata Rifqi.
Wacana Omnibus Law Politik diharapkan mampu merapikan berbagai regulasi politik yang selama ini tersebar dalam beberapa undang-undang. Dengan menggabungkan aturan pencalonan presiden, sistem pemilu, dan pengelolaan partai politik dalam satu payung hukum, pemerintah dan DPR berharap dapat menciptakan sistem politik yang lebih efektif dan efisien.
Selain itu, Rifqi juga menilai bahwa putusan MK membawa angin segar bagi demokrasi Indonesia. “Ini adalah babak baru dalam demokrasi konstitusional kita, di mana pencalonan presiden dan wakil presiden menjadi lebih terbuka dan kompetitif,” ujarnya.
Namun, ia mengingatkan bahwa proses penyusunan Omnibus Law membutuhkan perhatian ekstra agar setiap ketentuan yang dihasilkan mampu mengakomodasi berbagai kepentingan politik tanpa melanggar prinsip demokrasi.
Keputusan MK ini juga diperkirakan akan berdampak besar pada konfigurasi politik menjelang Pemilu 2029. Dengan tidak adanya presidential threshold, partai-partai kecil memiliki peluang lebih besar untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden. Hal ini diyakini akan menciptakan dinamika politik baru di Indonesia.
Pemerintah dan DPR kini dihadapkan pada tantangan untuk segera merumuskan rancangan undang-undang baru yang dapat menyesuaikan dengan putusan MK. Apakah model Omnibus Law Politik dapat diimplementasikan secara tepat masih menjadi perdebatan di kalangan politikus dan pengamat.
0 Comments