![]() |
Titi Anggraini bersama Kuasa Pemohon mengikuti sidang perbaikan permohonan pengujian materiil UU MD3, Senin (23/12) di Ruang Sidang MK. Foto/Humas/MK |
Sidang yang berlangsung pada Senin (22/12/2024) ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra. Kuasa hukum Pemohon, Sandy Yudha Pratama Hulu, menyampaikan perbaikan dalam permohonan mereka. Salah satu perubahan yang diajukan adalah penjelasan mengenai perbedaan materi permohonan dengan putusan MK sebelumnya, seperti pada Putusan Nomor 82 dan 89/PUU-XII/2014. Sandy juga mengkritik hilangnya pengarusutamaan gender dalam UU MD3, yang dianggap mengabaikan keputusan MK sebelumnya yang mendukung pentingnya pengakuan gender dalam politik.
Menurut Sandy, UU MD3 telah melanggar prinsip kesetaraan gender yang seharusnya diterapkan dalam pengaturan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Hal ini dianggap bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang menjamin pemenuhan hak-hak konstitusional tanpa diskriminasi. Pemohon menilai ada pembangkangan konstitusi dalam pengaturan keterwakilan perempuan di pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD), yang menurut mereka melanggar prinsip kesetaraan gender dalam politik.
Sandy juga menegaskan bahwa pemberian jaminan keterwakilan perempuan dalam politik adalah konstitusional dan harus diatur dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Pemohon mengusulkan agar UU MD3 mengatur minimal 30 persen perempuan dalam pimpinan AKD, untuk memastikan keterwakilan perempuan lebih seimbang di lembaga legislatif Indonesia.
Pada sidang sebelumnya, Pemohon mengungkapkan bahwa hak konstitusional mereka telah dirugikan, terutama terkait dengan rendahnya keterwakilan perempuan dalam kepemimpinan AKD. Mereka menilai bahwa saat ini jumlah perempuan dalam pimpinan AKD jauh di bawah target 30 persen.
Para Pemohon juga menyoroti ketidakseimbangan keterwakilan perempuan di dalam komposisi anggota AKD. Mereka meminta agar ketentuan dalam UU MD3 diubah untuk memastikan distribusi anggota perempuan dalam AKD secara lebih proporsional, sesuai dengan jumlah perempuan di setiap fraksi. Mereka mengusulkan agar Badan Musyawarah, Badan Legislasi, dan Badan Anggaran di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki keterwakilan perempuan yang lebih adil.
Pemohon berharap Mahkamah Konstitusi dapat menyatakan bahwa sejumlah pasal dalam UU MD3 dan perubahan UU MD3 2018 bertentangan dengan UUD 1945 dan memerintahkan penafsiran yang lebih adil. Dengan keputusan tersebut, Pemohon berharap agar keterwakilan perempuan di struktur parlemen Indonesia bisa lebih adil dan inklusif, serta menciptakan keadilan gender dalam sistem politik Indonesia.
Mahkamah Konstitusi akan terus memeriksa permohonan ini dan mempertimbangkan apakah pengaturan keterwakilan perempuan di AKD sudah sesuai dengan prinsip-prinsip kesetaraan gender yang dijamin oleh konstitusi. Pemohon berharap, keputusan MK nantinya dapat memperbaiki sistem politik di Indonesia dan meningkatkan peran perempuan dalam pengambilan keputusan politik di tingkat legislatif.
0 Comments