Menelisik Kasus PTDH Dua Guru di Luwu Utara

Sukardi Weda

(Guru Besar Universitas Negeri Makassar)



oleh;

Sukardi Weda

(Guru Besar Universitas Negeri Makassar)


Kabar pemecatan atau Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) terhadap dua guru di Kabupaten Luwu UtaraRasnal dan Abdul Muis — menjadi sorotan media lokal dan nasional dalam beberapa hari terakhir.


Kasus ini berawal pada tahun 2018, ketika Rasnal, selaku Kepala SMA Negeri 1 Luwu Utara saat itu, bersama koleganya, Abdul Muis, berinisiatif mencari solusi atas persoalan yang dihadapi sepuluh guru non-PNS atau guru honorer yang selama beberapa bulan tidak menerima honorarium.


Melalui rapat Komite Sekolah, keduanya mengusulkan kepada para orang tua siswa untuk memberikan sumbangan sukarela sebesar Rp17.000 per siswa. Namun atas usul orang tua siswa sendiri, nominal tersebut kemudian dinaikkan menjadi Rp20.000. Sumbangan sukarela itu dimaksudkan untuk membantu pembayaran honor kesepuluh guru honorer tersebut.


Sayangnya, niat baik ini justru menimbulkan persoalan serius. Muncul laporan kepada pihak kepolisian yang menuding bahwa urungan dana tersebut merupakan pungutan liar. Upaya mediasi pun dilakukan, namun tidak membuahkan hasil. Akhirnya, kedua guru Aparatur Sipil Negara (ASN) itu dijatuhi hukuman satu tahun penjara.


Putusan Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan keduanya bersalah atas tindakan “memungut dana Rp20 ribu dari orang tua siswa untuk menggaji 10 guru honorer” berujung pada hukuman pidana dan keputusan PTDH dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan.


Keputusan ini memicu reaksi publik. Para guru, organisasi profesi, dan masyarakat luas menyatakan keprihatinan dan protes, menilai ada yang tidak selaras dengan rasa keadilan dan kemanusiaan. Mereka menuntut agar Rasnal dan Abdul Muis dikembalikan ke posisi semula sebagai guru ASN.


Kasus ini semakin viral ketika seorang siswa SMP membacakan surat terbuka untuk Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto. Video surat terbuka itu tersebar luas di media sosial, khususnya WhatsApp, dengan ajakan agar pesan tersebut sampai ke Istana.


Pendidikan “Gratis” dan Peran Komite Sekolah


Untuk memahami konteks persoalan ini, perlu kita telaah kembali konsep “pendidikan gratis” dan keberadaan Komite Sekolah.


Pasca-Reformasi 1998, tata kelola pemerintahan, termasuk sistem pendidikan, mengalami perubahan besar. Program pendidikan dasar sembilan tahun diperkenalkan dengan label “gratis”. Namun, label tersebut tidak berarti meniadakan partisipasi masyarakat.


Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003 menegaskan pentingnya peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.

Pasal 9 menyatakan bahwa “Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan.”

Pasal 46 ayat (1) menegaskan bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Pasal 47 ayat (2) mengatur bahwa ketiga unsur tersebut dapat mengerahkan sumber daya sesuai peraturan perundang-undangan.


Sebagai wadah partisipasi masyarakat, dibentuklah Komite Sekolah, lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua siswa, komunitas sekolah, dan tokoh masyarakat yang peduli pendidikan.


Komite Sekolah diatur dalam Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016. Dalam Pasal 10 ayat (1)disebutkan bahwa komite berfungsi melakukan penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lain untuk mendukung tenaga, sarana, prasarana, serta pengawasan pendidikan.


Namun, Pasal 10 ayat (2) menegaskan bahwa penggalangan dana harus berbentuk bantuandan/atau sumbangan, bukan pungutan.


Permendikbud tersebut juga menegaskan larangan melakukan pungutan kepada peserta didik atau orang tua/walinya. Berdasarkan Pasal 1 ayat (4)pungutan diartikan sebagai penarikan uang oleh sekolah yang bersifat wajib, mengikat, dan memiliki jumlah serta jangka waktu tertentu.


Dengan demikian, apabila sumbangan dari orang tua siswa di SMA Negeri 1 Luwu Utara tersebut benar-benar bersifat sukarela, tidak memaksa, dan tidak ditentukan nominal maupun jangka waktunya, maka sumbangan itu tidak dapat dikategorikan sebagai pungutan.


Sayangnya, karena nominal Rp20.000 disebut secara spesifik, sumbangan tersebut kemudian ditafsirkan sebagai pungutan. Dari sinilah permasalahan hukum muncul dan akhirnya berujung pada vonis satu tahun penjara, denda Rp50 juta, serta pemecatan tidak hormat terhadap kedua guru tersebut.


Gelombang Reaksi dan Desakan Publik


Kasus ini memunculkan gelombang simpati luas. Publik menilai pemecatan Rasnal dan Abdul Muis tidak mencerminkan keadilan substantif. Banyak pihak, termasuk lembaga masyarakat sipil, pemerhati pendidikan, akademisi, dan organisasi profesi guru, memberikan dukungan moral kepada keduanya.


Puncaknya, Komisi D DPRD Sulawesi Selatan pada Rabu, 12 November 2025, menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan menghadirkan berbagai pihak terkait, antara lain Rasnal dan Abdul Muis, perwakilan Pemprov Sulsel, Kepala Cabang Dinas Wilayah XII Luwu Utara, pengurus Komite Sekolah SMA Negeri 1 Luwu Utara, PGRI Sulsel, PGRI Luwu Utara, serta Inspektorat Kabupaten Luwu Utara.


Karena kasus ini telah menimbulkan luka kemanusiaan dan keresahan publik, langkah strategis yang dapat ditempuh adalah mengembalikan hak-hak Rasnal dan Abdul Muis sebagai guru ASN. Mereka telah terbukti berjuang demi keberlangsungan pendidikan dan kesejahteraan rekan-rekan sejawatnya. Demi keadilan dan kemanusiaan, sudah sepatutnya kedua guru ini direhabilitasi dan dikembalikan ke posisi semula.

0 Comments