Para Pemohon mengajukan pengujian terhadap Pasal 216 ayat (2), Pasal 216 ayat (3), Pasal 379 ayat (2), Pasal 380 ayat (1), dan Pasal 380 ayat (2). Mereka menyebut, kedudukan Inspektorat Daerah yang berada di bawah kewenangan Kepala Daerah berpotensi melemahkan fungsi pengawasan serta membuka peluang konflik kepentingan dan pengaruh politik lokal.
Menurut Lakso Anindito, kuasa hukum Pemohon, keberadaan Inspektorat yang tidak independen melahirkan risiko rendahnya efektivitas pengawasan. “Inspektorat sering kali tidak mampu menjalankan fungsi pengawasan secara optimal, bahkan berpotensi terlibat dalam praktik korupsi di daerah,” ujar Anindito dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih bersama Anwar Usman dan M. Guntur Hamzah.
Para Pemohon mengkritik Pasal 216 ayat (3) UU Pemda yang menyatakan bahwa Inspektorat Daerah bertanggung jawab kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah. Ketentuan ini dinilai tidak memberikan kepastian hukum yang adil, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta MK menyatakan sejumlah pasal dalam UU Pemda bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat. Mereka mengusulkan agar Inspektorat Daerah bertanggung jawab langsung kepada Menteri melalui inspektur di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Hal ini diharapkan memperkuat independensi pengawasan sekaligus mengurangi konflik kepentingan.
Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menyoroti pentingnya legal standing dalam permohonan ini. Sebagai advokat dan karyawan swasta, para Pemohon dinilai perlu menjelaskan keterkaitannya dengan isu yang diangkat. “Apa relevansinya dengan Inspektorat Daerah? Misalnya, pernah diperiksa atau dirugikan oleh institusi tersebut,” tanya Guntur.
Sementara itu, Hakim Anwar Usman menyarankan agar para Pemohon menguraikan dengan rinci pertentangan antara pasal yang diuji dengan konstitusi. “Jelaskan bagaimana implementasi norma ini bertentangan dengan prinsip otonomi daerah dan desentralisasi,” tegasnya.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menambahkan bahwa konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah harus dijelaskan secara komprehensif. “Bagaimana posisi desentralisasi dan otonomi daerah dalam sistem evaluasi berjenjang, serta bagaimana ini dapat dipertahankan atau diperbaiki?” paparnya.
MK memberikan waktu 14 hari kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonan mereka. Naskah perbaikan harus diserahkan paling lambat Kamis, 2 Januari 2025, untuk dijadwalkan sidang lanjutan dengan agenda mendengarkan pokok-pokok perbaikan.
Kasus ini menjadi sorotan publik karena berpotensi membawa dampak signifikan terhadap sistem pengawasan internal pemerintahan daerah, termasuk dalam memperkuat pemberantasan korupsi di tingkat lokal. Jika dikabulkan, uji materi ini dapat membuka lembaran baru dalam pengelolaan pemerintahan yang lebih akuntabel dan bebas dari konflik kepentingan.
0 Comments