Peran Intelektual: Aku Menikahkan Gramsci Dengan Edward Said


Ada dua nama yang muncul dalam benak saya ketika menghadapi gagasan tentang intelektual sebagai spektrum perjalanan sejarah. Sosok itu adalah Edward Said dan Antonio Gramsci. Kedua tokoh ini memiliki latar tradisi pemikiran serta perjuangan yang berbeda.

Namun, ada pola kesamaan dari kedua tokoh ini terhadap posisi seorang intelektual dalam kehidupan sosial, yaitu bahwa kaum intelektual memiliki peran penting dan tanggung jawab terhadap kehidupan sosial.

Edward Said lahir di Yerusalem tahun 1935. Ia merupakan putra seorang pedagang Arab makmur.

Tahun 1937, ia orang tuanya mengirimnya ke Kairo untuk belajar di Victoria College, sekolah elite di Timur-Tengah. Di sana semua gurunya orang Inggris. Pendidikan yang benar-benar bergaya Inggris ini membuat dia menjadi warga Inggris, bukan lagi seorang anak muda Arab.

Pada usia 15 tahun, ayahnya yang berkewarganegaraan Palestina-Amerika Serikat memindahkannya ke Massachusets. Dan, pada umur 18 tahun, Edward Said menjadi warga negara Amerika Serikat.

Namun, bukan berarti pendidikan Barat telah melunturkan perhatiannya kepada negeri kelahirannya. Panggilan tanah leluhur Palestina makin mengusik kesadarannya. Ia tidak lagi sekadar akademisi yang bergelut dengan teori-teori sastra, tapi telah menjadi aktivis yang merangkap sebagai pengajar untuk kepentingan Palestina dan dunia Arab pada umumnya.

Sedangkan Antonio Gramsci lahir di Italia tahun 1891. Di dalam wacana filsafat, Gramsci terkenal sebagai seorang filsuf Marxian dari Italia dengan gagan prosesnya tentang intelektual organik.

Ia pernah menjadi Anggota pendiri dan kemudian menjadi pemimpin Partai Komunis Italia. Gramsci sempat menjalani penjara pada masa berkuasanya rezim Fasis Benito Mussolini (1926-1937). Ia tertuduh sebagai salah satu pemikir orisinal utama dalam tradisi pemikiran Marxis.

Gramsci juga tersohor sebagai penemu konsep hegemoni budaya sebagai cara untuk menjaga keberlangsungan negara dalam sebuah masyarakat kapitalisme.

Kritik Edward Said Atas Julian Benda

Pandangan tentang intelektual di dalam pemikiran Edward Said sebenarnya adalah tanggapan kritis kepada Julian Benda (1867-1956).

Benda, dalam karyanya yang termashyur La Trahison des Clercs (Pengkhianatan Kaum Cendikiawan), menggambarkan cendekiawan dalam sosok ideal, yaitu semua orang yang kegiatan utamanya bukanlah mengejar tujuan-tujuan praktis. Akan tetapi, yang mencari kegembiraan dalam mengolah seni, ilmu atau renungan metafisik; mereka adalah para ilmuwan, fisuf, seniman, dan ahli metafisika.

Benda mengutip khotbah Yesus di bukit. Singkatnya, Benda menyebut cendekiawan sejati ini dengan prinsip “kerajaanku bukan di bumi”.


Dalam karya kritis Edwad Said “Representations of the Intellectua” yang kemudian terbit dalam bahasa Indonesia oleh Penebit Buku Obor dangan judul “Peran Intelektual”, ia tegas menyatakan bahwa seorang intelektual tidaklah berada di menara gading. Sebaliknya, mereka terlibat langsung dalam soal-soal kemasyarakatan.

Pekerjaan seorang intelektual adalah mempertahankan negara dengan kewaspadaan, selalu sadar akan tugasnya untuk tidak membiarkan kebenaran terselewengkan atau menerima satu ide yang dapat menguasai seluruh kehidupan. Dalam hal ini, seorang intelektual berperan sebagai benteng akal sehat yang kritis terhadap kekuasaan.

Edwar Said mencela kaum cendekia yang suka bersolek dan memilih diam demi kehati-hatian atau malah takut jabatannya akan tercopot demi sebuah tujuan menyatakan kebenaran dan mendukung kebenaran.

Seorang cendekiawan, baik itu kalangan mahasiswa, politisi, dosen, bangsawan, atau apa pun namanya itu, menurut Edwar Said, tidaklah ia bebas nilai atau netral. Sebaiknya seorang intelektual harus berpihak, yaitu kepada kelompok atau kaum lemah yang tertindas.

Ia mengingatkan kita bahwa apabila kaum intelektual mengambil posisi kritis terhadap suatu otoritas, maka intelektual itu akan menjadi kaum pinggiran kalau dilihat dari pemilikan, kuasa, dan kehormatan. Sebab, ia oposisi terhadap kezaliman.

Intelektual Dalam Kacamata Profesionalitas

Seorang intelektual selalu berada di antara kesendirian dan pengasingan. Suara seorang intelektual adalah suara kesepian, tapi suara ini akan bergema karena menghubungkan dirinya secara bebas dengan realitas sebuah gerakan, aspirasi, dan pengejaran cita-cita bersama, bukan malah pembodohan atau menggunakan jabatannya. Posisinya dalam struktur sosial sebagai abdi penguasa zalim atau kapital yang menghisap hak rakyat banyak.

Itulah mengapa kita menemukan garis merah atau penggambaran dari Edwar Said. Bahwa karakterisasi intelektual adalah sosok pengasingan dan marjinal. Ia sebagai amatir dan sebagai pengarang sebuah bahasa yang mencoba membicarakan kebenaran kepada kekuasaan.

Pada posisi ini, kita melihat seruan Edwar Said pada dunia masyarakat modern hari ini, yang harus menjadi sorotan kita bersama. Bahwa apakah peran intelektual yang diharapkan oleh beliau tersebut telah teramini dari kita semua? Atau minimal oleh kalangan terpelajar dari jajaran dosen dan mahasiswa serta pada para politisi Indonesia? Ataukah kita atau pun kampus kita malah menjadi abdi atau taklid buta pada kekuasaan?


Dan orang-orang yang tetap menghibahkan dirinya, mengabdikan dirinya di dalam perjuangan perubahan sosial untuk mengangkat amanat penderitaan rakyat. Edwar Said menyebutnya, itulah orang-orang intelektual profesional yang sebenar-benarnya. Melepaskan diri dari kepentingan dan keterikatan-keterikatan yang akan membawa pada pembohongan publik, tapi tetap selalu berperang penting di dalam mengatakan kebenaran pada kekuasaan.

Hal ini sangat jelas. Meskipun Edwad Said berproses dan menjadi tokoh intelektual di Amerika, namun karyanya membuat orang-orang Eropa dan Amerika serta Israel tersudutkan.

Hingga hari ini, para intelektual Barat tidak mau meneri cap sebagai orientalis. Sebab kata “orientalisme” menjadi suara kelantangan Edwar Said kepada dunia bahwa peradaban Eropa dengan imprealismenya telah menjadikan intitusi pendidikan sebagai wadah penelitiannya. Wadah itu hanya beriorentasi untuk menaklukkan bangsa jajahan melalui para pemilih (orientalis).

Lalu, kita sebagai mahasiswa harus menjadi seperti apa? Apakah akan ikut bersama-sama dalam barisan Edwad Said sebagai intelektual profesional (bukan intelektual bayaran/abal-abalan) guna mewujudkan keadilan sosial dengan segenap segala hal yang kita miliki? Ataukah malah menjadi abdi Nekolim (Neokolonialisme dan imperialisme) justru malah memerangi intektual profesional ala Edward Said?

Gramsci Dalam Kacamata Pemikiran

Konsep Gramsci tentang hegemoni adalah bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan persuasi. Hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologi ataupun yang lain. Ia adalah suatu organisasi consensus dalam memengaruhi, seperti yang ia ulas dalam beberapa karyanya, Prison Notebooks.

Hegemoni bagi Gramsci adalah kemampuan untuk mengakomodasikan semua kepentingan kelompok lain sehingga mau memberikan dukungan, serta berpartisipasi. Dengan jalan inilah sebenarnya kekuasaan dapat kita capai serta pertahankan.

Negara dalam hal ini ia maknai sebagai pelayanan sipil yang menyangkut kesejahteraan rakyat dan penyedia pendidikan bagi masyarakatnya. Dan juga kampus, media merupakan salah satu alat atau instrumen hegemoni berlangsung. Sebab hegemoni hadir mewujudkan dirinya secara halus.

Bagi Gramsci, di dalam masyarakat, baik itu masyarakat sipil atau masyarakat politik, proses hegemoni terus berlangsung. Keduanya saling memiliki interkoneksi sesuai kepentingannya masing-masing yang merujuk pada kapiltalis dan pemerintah/penguasa. Bahkan kapitalisme mengembangkan dirinya melalui hegemoni, baik itu hegemoni lewat media, negara, atau jabatan dalam perusahaan dan sebagainya.


Untuk mewujudkan sosialisme, kita menyelamatkan kaum tertindas dan menciptakan sebuah sistem yang tidak lagi ada keberpihakan sepihak secara radikal oleh pada kapitalis. Di sinilah intelektual organik menjadi jawaban oleh Antonio Gramsci.

Intelektual organik dengan ideologi progresnya yang begitu kuatlah yang kita harapkan untuk menghegemoni balik. Melawan hegemoni kapitalisme atau penguasa yang mengabdikan diri pada kapitalis, serta bahkan mengambil alih negara dari tangan kapitalis. Sebab, negara dan alat produksi adalah institusi/alat yang kapitalis gunakan dalam membesarkan dirinya di atas penderitaan rakyat banyak.

Gramsci beranggapan bahwa ideologi harus menjadi sebuah kesadaran kolektif. Ideologi yang baik, baginya, adalah ketika mampu mengakomodasikan kepentingan kelompok serta bisa untuk menarik kelompok lain ke dalam kelompok kita. Gramsci melihat bahwa ideologi itu sifatnya arbitrer (berubah-ubah) sesuai dengan perkembangan pemikiran.

Secara tidak langsung, tersadari atau tidak, Gramsci telah menjebakkan dirinya terhadap bias dari kepentingan kelompok intelektual (organik). Dari kelompok intelektual inilah progresivitas akan tumbuh dengan sangat cepat, mengingat mereka memiliki kemampuan untuk mengorganisir massa.

Maka bisa juga kita katakan bahwa konsepsi ideologi yang tampak dari bagaimana konsepsi ideologi arbitrer ini adalah dari sudut pandang paradigma sistem. Maka kita juga akan menemukan, seperti yang Habermas katakan, solidaritas budaya dan komunitas masyarakat itu terbentuk.

Jelas terlihat bias kepentingan (kekuasaan) dalam konsepsi ideologi tersebut. Bagi Gramsci, tujuan partai atau kelompok sosialis adalah terbentuknya masyarakat sosialis itu sendiri. Dengan konsepsi ideologi ini tentu (partai, kelompok) sosialis harus menjadikan dirinya inklusif/terbuka. Ia mampu melakukan perubahan secara terus-menerus kearah perjuangan kelas.

Bagi Gramsci, kaum intelektual terdiri dari dua wilayah, yakni teori (intelektual tradisional) dan menghubungkannya dengan realitas sosial (intelektual organik). Intelektual organik, dengan demikian, adalah intelektual yang dengan sadar dan mampu menghubungkan teori dan realitas sosial yang ada. Ia bergabung dengan kelompok-kelompok revolusioner untuk mendukung dan mengonter hegemoni pada sebuah transformasi yang terencana dalam mewujudkan masyarakat sosialis.

Pendasaran yang paling progresif dari Antonio Gramsci adalah bahwa orang yang memiliki kesadaran intelektual organik adalah mereka yang mampu menjadi seorang organisator dalam perubahan atau penyadaran. Mereka ada untuk membangun kesadaran bahwa selama ini masyarakat sekitarnya telah terhegemoni dan tertindas

Peran Intelektual: Dalam Kacamata Gramsci dan Edward Said

Entah mengapa ketika membaca buku Edward Said, sepertinya saya sedang berada dalam dunia Marxian. Tapi, sejauh ini, saya tidak menemukan dari Edward Said bahwa pikirannya mendasarkan diri pada Karl Marx. Dan bahkan dia bukan seorang Marxian atau pejuang komunis dan hal-hal semacam itu. Kesan itu terjadi karena posisi Edward Said betul-betul membuktikan ketidaksetujuannya terhadap segala bentuk penindasan-penindasan atau pembodohan.

Kita tahu bahwa dia adalah seorang professor, dan saya menyebutnya sebagai mahakarya yang kritikus. Ia tahu betul apa yang terjadi dunia akademis, khususnya di Eropa. Ia berusaha mengungkapkan kepada kita semua bahwa ada kebejatan atau niat buruk di dalam sebuah intitusi pengetahuan. Itu berlangsung di Eropa dari zaman penjajahan Eropa hingga zaman penjajahan gaya baru hari ini.

Para pihak imperial menggunakan orang-orang yang berpengetahuan di Eropa dengan intitusi pengetahuannya secara umum. Itu untuk memudahkan menaklukkan dunia jajahan (Asia, Afrika, dll) yang hari ini dengan bentuk penjajahan gaya baru.

Karyanya membuat kita menyadari satu hal bahwa orang-orang berpengatahuanlah yang menjadi jawaban mengapa masyarakat dunia terjadi perbudakan, kebohongan publik, serta ketidakadilan sosial hari ini. Semua itu karena orang-orang berpengetahuan tidak lagi profesional. Ia menghambakan diri pada jabatan, gaji, menjadi hamba dalam perbudakan kapitalis pengusaan.

Dan untuk mengubah tatanan dunia itu, orang-orang berpengetahuan harus kembali di jalan yang benar. Bahwa pengetahuan itu untuk rakyat, untuk kebenaran, bukan untuk kepentingan yang melanggengkan ketidakadilan sosial. Harus menjadi intelektual yang profesional, tidak mau bayaran, sogokan, atau iming-iming jabatan untuk sesuatu yang mengarah pada ketidakmurnian. Intelektual profesional jelas keberpihakannya, yaitu kebaikan hajat hidup sosial dan keadilan.

Dengan nada terang, Edward Said berkata, “Berani mengatakan kebenaran pada penguasa.”

Di sinilah antara Edward Said yang meskipun bukanlah kader Marxian, tetapi gigih dan jujur melihat ketidakadilan, telah menemukan titik yang sama dari gagasan intelektual organik dari Antonio Gramsci. Ia mendasarkan diri bahwa intelektual organik menjadi titik sentral di dalam sebuah perjuangan atau perubahan sosial.

Singkat kata, saya menyebutnya bahwa orang-orang yang berpengetahuanlah yang kemudian memiliki pengaruh penting di dalam kehidupan kita yang menjadi penentu. Sampai kapan dunia akan selalu kita biarkan dalam kezaliman dan ketidakadilan?

0 Comments